Sudah hari Kamis, tepatnya tanggal 19 Februari 2015. Sebelumnya, kami segenap Penjaga Makam Panchake mengucapkan Gong Xi Fat Cai kepada kalian semua teman-teman penulis yang tengah merayakan Tahun Baru Imlek. Semoga selalu dilimpahkan rejeki dan keberuntungan sepanjang tahun kambing ini. Nah, berhubung suasana Imlek, maka Parade Horor kali ini mengangkat tema "Angpao Berdarah". Berikut ini adalah karya Hantu Panchake yang berhasil terdata.
SURAT CHEN
Rismawati Irliani
Kau terdiam di balik tirai loteng rumahmu, mengintip kepindahan seseorang di rumah sebelah. Seseorang yang akan menjadi tetangga barumu. Setengah senang, setengahnya tak tenang. Kau melihat gelagat seorang gadis bermata sipit itu sedikit aneh.
Tanpa kau sadari ia menatapmu, sepersekian menit kau baru sadar ia tersenyum ke arahmu. Cepat kau bersembunyi, napasmu tak beraturan.
"Aduh, ketahuan!" Kau menepuk jidadmu. "Bodoh!" Kau memaki dirimu sendiri.
***
Pintu rumahmu diketuk seseorang. Kau segera menuruni tangga. Alangkah terkejutnya dirimu, tetangga barumu itu tersenyum di depanmu.
"Pagi," sapanya. Logatnya kental, sepertinya Tionghoa, pikirmu.
"Ada apa ya?" tanyamu.
"Hanya ingin berkunjung kok, tetangga harus saling mengenal." ujarnya.
"Oh, masuk." serumu cepat. Agak canggung juga kau berbicara dengannya. Sebab ia terus terusan menatapmu. "Kau sendirian pindah ke rumah sebelah?" tanyamu lagi.
"Ia, hanya sendirian. Jadi jangan sungkan main ke rumah. Namaku Chen," Ia menyalamimu.
"Farhan," jawabmu.
"Aku tak lama, hanya ingin berkenalan. Di rumah masih banyak yang harus kubenahi. Kapan-kapan ya aku masuk." Ia mengedipkan matanya padamu lalu ia pulang.
Tinggallah kau menatap siluet tubuhnya yang kemudian hilang di balik pagar dengan dadamu yang berdegup kencang.
***
"Angpao merah? Siapa yang meletakkannya di sini?" Sejenak kau berpikir, dan kau telah mendapat jawabanmu. "Pasti Chen. Ya, hanya ia yang kutahu akan merayakan Imlek."
Tanpa berpikir lagi kau memasukkannya ke dalam tasmu.
Sampai malam hari kau baru ingat tetang angpao merah itu. Secepat kilat kau meraih tasmu yang tergeletak di lantai.
Selembar kertas, hanya itu yang kau temukan di dalam angpao itu. Tidak ada uang. Kau buka perlahan kertas itu dengan rasa penasaran.
"Datang ke rumahku malam ini, Chen."
Kau tersenyum, pikiranmu sedang kusut. Terbersit dibenakmu ia akan memuaskanmu malam ini. Bergegas kau mengganti bajumu, menyemprot parfum, mempoles rambutmu dengan minyak wangi super mahal.
Segera kau berlari ke rumah sebelah. Bertamu yang tak wajar, jam sudah pukul 11 malam. Tapi kau tak peduli karena kau berharap yang lain.
Belum kau mengetok pintu, Chen sudah membukakanmu pintu. Ia segera menyuruhmu masuk. Kau di sambut dengan banyak hidangan dan anggur.
"Temani aku minum malam ini ya?" pintanya.
"Tentu," jawabmu.
Kalian mulai mabuk. Ia menarikmu untuk memasuki kamarnya. Kau senang. Ia lalu ia mendorongmu ke kasur. Kau malah berpikir dia agresif.
Sesaat saja pikiranmu itu, tiba-tiba ia berubah. Giginya menyeringai menakutkan. Ia tertawa. Kau sangat terkejut.
"Teeerrr..ny..nyat..ta kau ..."
"Hahahah.Dasar lelaki bodoh. Kau pikir kau akan bersenang-senang hah?"
Ditangannya sebilah pisau belati. Melihat itu kau berusaha menjauh. Kau ingin berlari keluar.
"Kemarilah sayang," ujarnya.
"Ampuuuunn Chen, jangan Chen," kau ketakutan.
"Kemarilah hahaha." Ia semakin mendekat
Ketika kau hendak lari, ia sudah ada di dekatmu. Menusuk pisau itu tepat di jantungmu. Menggigit lehermu. Kau berteriak kesakitan dan akhirnya kau tak merasakan apa-apa lagi. Semuanya gelap.
"Hahaha, begitu mudahnya kudapatkan darah perjaka malam Imlek ini. Aku akan terus awet muda. Hahaha."
Tanpa kau sadari ia menatapmu, sepersekian menit kau baru sadar ia tersenyum ke arahmu. Cepat kau bersembunyi, napasmu tak beraturan.
"Aduh, ketahuan!" Kau menepuk jidadmu. "Bodoh!" Kau memaki dirimu sendiri.
***
Pintu rumahmu diketuk seseorang. Kau segera menuruni tangga. Alangkah terkejutnya dirimu, tetangga barumu itu tersenyum di depanmu.
"Pagi," sapanya. Logatnya kental, sepertinya Tionghoa, pikirmu.
"Ada apa ya?" tanyamu.
"Hanya ingin berkunjung kok, tetangga harus saling mengenal." ujarnya.
"Oh, masuk." serumu cepat. Agak canggung juga kau berbicara dengannya. Sebab ia terus terusan menatapmu. "Kau sendirian pindah ke rumah sebelah?" tanyamu lagi.
"Ia, hanya sendirian. Jadi jangan sungkan main ke rumah. Namaku Chen," Ia menyalamimu.
"Farhan," jawabmu.
"Aku tak lama, hanya ingin berkenalan. Di rumah masih banyak yang harus kubenahi. Kapan-kapan ya aku masuk." Ia mengedipkan matanya padamu lalu ia pulang.
Tinggallah kau menatap siluet tubuhnya yang kemudian hilang di balik pagar dengan dadamu yang berdegup kencang.
***
"Angpao merah? Siapa yang meletakkannya di sini?" Sejenak kau berpikir, dan kau telah mendapat jawabanmu. "Pasti Chen. Ya, hanya ia yang kutahu akan merayakan Imlek."
Tanpa berpikir lagi kau memasukkannya ke dalam tasmu.
Sampai malam hari kau baru ingat tetang angpao merah itu. Secepat kilat kau meraih tasmu yang tergeletak di lantai.
Selembar kertas, hanya itu yang kau temukan di dalam angpao itu. Tidak ada uang. Kau buka perlahan kertas itu dengan rasa penasaran.
"Datang ke rumahku malam ini, Chen."
Kau tersenyum, pikiranmu sedang kusut. Terbersit dibenakmu ia akan memuaskanmu malam ini. Bergegas kau mengganti bajumu, menyemprot parfum, mempoles rambutmu dengan minyak wangi super mahal.
Segera kau berlari ke rumah sebelah. Bertamu yang tak wajar, jam sudah pukul 11 malam. Tapi kau tak peduli karena kau berharap yang lain.
Belum kau mengetok pintu, Chen sudah membukakanmu pintu. Ia segera menyuruhmu masuk. Kau di sambut dengan banyak hidangan dan anggur.
"Temani aku minum malam ini ya?" pintanya.
"Tentu," jawabmu.
Kalian mulai mabuk. Ia menarikmu untuk memasuki kamarnya. Kau senang. Ia lalu ia mendorongmu ke kasur. Kau malah berpikir dia agresif.
Sesaat saja pikiranmu itu, tiba-tiba ia berubah. Giginya menyeringai menakutkan. Ia tertawa. Kau sangat terkejut.
"Teeerrr..ny..nyat..ta kau ..."
"Hahahah.Dasar lelaki bodoh. Kau pikir kau akan bersenang-senang hah?"
Ditangannya sebilah pisau belati. Melihat itu kau berusaha menjauh. Kau ingin berlari keluar.
"Kemarilah sayang," ujarnya.
"Ampuuuunn Chen, jangan Chen," kau ketakutan.
"Kemarilah hahaha." Ia semakin mendekat
Ketika kau hendak lari, ia sudah ada di dekatmu. Menusuk pisau itu tepat di jantungmu. Menggigit lehermu. Kau berteriak kesakitan dan akhirnya kau tak merasakan apa-apa lagi. Semuanya gelap.
"Hahaha, begitu mudahnya kudapatkan darah perjaka malam Imlek ini. Aku akan terus awet muda. Hahaha."
TAMAT
TRIBUTE TO THE DOOMED
Choi Runako Aditya
Pagi ini Steve bangun lebih pagi dari biasanya. Bayangan puluhan angpao merah berisi rupiah semalaman membuat tidurnya tidak nyenyak. Sudah dari bulan sebelumnya Steve menginginkan gadget baru, dengan mengumpulkan uang jajan dan juga tambahan dari uang angpao dia bisa membeli ponsel keluaran terbaru.
Subuh tadi Bibi Lung sudah berada di rumah Steve. Semenjak masih kecil Steve sering diperingatkan agar tidak terlalu dekat dengan Bibi Lung. Dasarnya Steve juga sedikit segan pada wanita paruh baya kaya raya itu. Dia galak. Dandan selalu menor, menyeramkan.
Meskipun begitu Steve tidak mau menolak angpao darinya. Rejeki tidak boleh ditolak.
Bibi Lung janda, suaminya meninggal pada saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan yang ke tujuh. Kecelakaan parah yang membuat kaki Bibi Lung juga cedera. Sejak saat itu Bibi Lung jadi sedikit antisosial. Mungkin trauma.
“Steve,” panggil Bibi Lung nyaring seperti biasanya.
Steve mendekat dengan langkah gamang, “Iya?”
“Ini ... untukmu, untuk jajan!” dengan nada sedikit diramah-ramahkan Bibi Lung menyodorkan amplop merah. Dari luar terlihat lumayan tebal. Cerita dari para sepupu Steve sih dia suka sekali memberikan banyak uang jika ada moment seperti ini.
“Te-terimakasih,” ucapnya sedikit gerogi karena isi angpaonya yang sudah terbayang.
Bibi Lung membalas dengan senyum miring.
Setelah itu Steve melangkah cepat menuju taman di belakang rumahnya. Beruntung ayah dan ibunya belum pulang dari pasar untuk membeli segala kerperluan jamuan. Steve membuka angpaonya dengen gemetar. Nilainya lumayan besar!
Mata Steve berbinar-binar, bahkan itu lebih dari cukup untuk membeli gadget impiannya jika ditambahi uang jajan! Namun di sela kesenangannya Steve dibuat bingung dengan sebuah kertas yang juga terselip di dalam amplop.
Kertas aneh itu bernoda kemerahan dan sudah mengering. Merasa itu tidak penting Steve melemparnya ke kolam di sisi lain taman.
Tanpa Steve sadari Sang Bibi tengah mengawasi dari dalam rumah dengan wajah puas. Apalagi saat tahu Steve telah membuka amplop dan memeriksa isinya. Rencananya berhasil!
“Steve ...!” sebentuk suara terdengar memanggil Steve yang masih sibuk mengkalkulasi uangnya.
Bingung, Steve celingukan namun tidak ada siapapun di sana.
“Steve!” kembali suara itu menggema.
Setelah sekian kali celingukan akhirnya Steve menemukan sumber suara itu. Seorang pria muda yang tengah duduk di pinggiran kolam. Dia memunggungi Steve. Karena merasa dia lah yang memanggil akhirnya Steve mendekat dengan bingung.
Sosok itu menoleh dengan gerakan kaku. Mata Steve langsung terbelalak ketakutan begitu sadar yang ada di hadapannya adalah suami Bibi Lung yang sudah meninggal. Wajah hancurnya menyungging senyum dingin.
“Paman sudah lama menantikan saat ini, Steve” ucapnya parau. Beberapa saat kemudian dia memegang bahu Steve dengan erat dan membuka mulutnya lebar. Seperti dihipnotis mulut Steve ikut terbuka tanpa bisa melawan. Saat itulah sebuah pertukaran jiwa terjadi.
Steve merasa nyawanya terhisap keluar dan tubuhnya berisi jiwa orang lain. Makin lama tubuhnya makin mati rasa hingga dia tidak sadar apa lagi yang terjadi setelah itu.
“Istriku ...,” Paman Lee tersenyum dan melihat tubuh barunya. Tubuh Steve. Bibi Lung langsung memberikan pelukan hangat.
TAMAT
Subuh tadi Bibi Lung sudah berada di rumah Steve. Semenjak masih kecil Steve sering diperingatkan agar tidak terlalu dekat dengan Bibi Lung. Dasarnya Steve juga sedikit segan pada wanita paruh baya kaya raya itu. Dia galak. Dandan selalu menor, menyeramkan.
Meskipun begitu Steve tidak mau menolak angpao darinya. Rejeki tidak boleh ditolak.
Bibi Lung janda, suaminya meninggal pada saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan yang ke tujuh. Kecelakaan parah yang membuat kaki Bibi Lung juga cedera. Sejak saat itu Bibi Lung jadi sedikit antisosial. Mungkin trauma.
“Steve,” panggil Bibi Lung nyaring seperti biasanya.
Steve mendekat dengan langkah gamang, “Iya?”
“Ini ... untukmu, untuk jajan!” dengan nada sedikit diramah-ramahkan Bibi Lung menyodorkan amplop merah. Dari luar terlihat lumayan tebal. Cerita dari para sepupu Steve sih dia suka sekali memberikan banyak uang jika ada moment seperti ini.
“Te-terimakasih,” ucapnya sedikit gerogi karena isi angpaonya yang sudah terbayang.
Bibi Lung membalas dengan senyum miring.
Setelah itu Steve melangkah cepat menuju taman di belakang rumahnya. Beruntung ayah dan ibunya belum pulang dari pasar untuk membeli segala kerperluan jamuan. Steve membuka angpaonya dengen gemetar. Nilainya lumayan besar!
Mata Steve berbinar-binar, bahkan itu lebih dari cukup untuk membeli gadget impiannya jika ditambahi uang jajan! Namun di sela kesenangannya Steve dibuat bingung dengan sebuah kertas yang juga terselip di dalam amplop.
Kertas aneh itu bernoda kemerahan dan sudah mengering. Merasa itu tidak penting Steve melemparnya ke kolam di sisi lain taman.
Tanpa Steve sadari Sang Bibi tengah mengawasi dari dalam rumah dengan wajah puas. Apalagi saat tahu Steve telah membuka amplop dan memeriksa isinya. Rencananya berhasil!
“Steve ...!” sebentuk suara terdengar memanggil Steve yang masih sibuk mengkalkulasi uangnya.
Bingung, Steve celingukan namun tidak ada siapapun di sana.
“Steve!” kembali suara itu menggema.
Setelah sekian kali celingukan akhirnya Steve menemukan sumber suara itu. Seorang pria muda yang tengah duduk di pinggiran kolam. Dia memunggungi Steve. Karena merasa dia lah yang memanggil akhirnya Steve mendekat dengan bingung.
Sosok itu menoleh dengan gerakan kaku. Mata Steve langsung terbelalak ketakutan begitu sadar yang ada di hadapannya adalah suami Bibi Lung yang sudah meninggal. Wajah hancurnya menyungging senyum dingin.
“Paman sudah lama menantikan saat ini, Steve” ucapnya parau. Beberapa saat kemudian dia memegang bahu Steve dengan erat dan membuka mulutnya lebar. Seperti dihipnotis mulut Steve ikut terbuka tanpa bisa melawan. Saat itulah sebuah pertukaran jiwa terjadi.
Steve merasa nyawanya terhisap keluar dan tubuhnya berisi jiwa orang lain. Makin lama tubuhnya makin mati rasa hingga dia tidak sadar apa lagi yang terjadi setelah itu.
“Istriku ...,” Paman Lee tersenyum dan melihat tubuh barunya. Tubuh Steve. Bibi Lung langsung memberikan pelukan hangat.
TAMAT
NODA MERAH
Nova Aditya Nugraha
Hujan, hujan, dan hujan. Orang bilang hujan identik dengan Imlek. Aku hanya diam; tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan. Bagiku hujan tetaplah hujan; rintik air menyerbu bumi bersamaan.
Tak jauh berbeda dengan apa yang kualami saat ini. Aku terpaksa harus terjebak di rumah Tuan Lee. Sebenarnya itu bukan suatu masalah yang perlu dikhawatirkan, mengingat Tuan Lee begitu ramah dan sangat welcome denganku—sampai saat ini.
“Kau terlihat sangat gelisah, apakah ada suatu hal yang akan kaukerjakan setelah ini?” mungkin karena memergokiku sering melihat arloji, Tuan Lee membuka suara.
“Ah, tidak juga, Tuan. Hanya saja kurang sopan rasanya berlama-lama di tempat ini,” jawabku sambil mengulas senyum sopan.
Tuan Lee membalas senyumku, kemudian lengannya yang kekar itu justru menyuguhkan segelas air putih padaku. “Duduklah terlebih dahulu, tak perlu terburu-buru.”
Ah, benar juga. Mungkin sudah sekitar lima menit aku berdiri mematung di depan jendela—dekat pintu. Harusnya aku senang Tuan Lee mempersilahkanku untuk duduk dan sejenak mengusir dahaga. “Ah, baiklah. Terimakasih, Tuan.”
Mau tak mau aku harus duduk di atas sebuah sofa berwarna merah. Kupandangi wajah Tuan Lee malu-malu. Kurasa beliau juga pasti tahu; aku merasa begitu canggung berhadapan dengannya.
“Ngomong-ngomong, terimakasih kau sudah bersedia mengantarkan pesananku. Apa yang terjadi dengan para kurirmu sehingga harus kau sendiri yang mengantarkannya?” tanya Tuan Lee memecah hening di tengah rintik hujan yang makin deras.
Kuletakkan gelas bening berisi air di atas meja—setelah aku minum, kemudian kupandang sepasang iris kecokelatan milik pria berahang tegas itu. “Hari ini merupakan hari libur nasional. Mereka sepakat meminta diliburkan, jadi harus aku sendiri yang mengantarkannya, Tuan.”
Kulihat Tuan Lee mengangguk pelan, memandangi wajahku sebentar … lalu menjawab, “Jika tahu seperti itu, aku tak akan meminta barangku untuk diantarkan.”
“Tak apa, Tuan. Lagipula barang itu sangat penting, kami tak ingin menerima kabar seseorang ditemukan tewas karena kehabisan stok obat,” jawabku sambil memamerkan senyum.
“Sepertinya aku tak salah memilih apotek langganan,” balas Tuan Lee. Lalu kulihat dia merogoh saku kemeja abunya. “Ini untukmu, simpanlah,” ujarnya sembari menyodorkan sebuah amplop merah.
“Maaf, Tuan. Namun kurasa Tuan sudah membayar beban biayanya.”
“Kau benar. Tapi ini sebagai bentuk terimakasihku karena kau telah bersedia mengantar ke sini,” jawabnya meyakinkan.
Orang tuaku pernah mengatakan, bahwa aku tak boleh menolak pemberian seseorang dengan alasan apapun. Karena jika menolaknya, sama saja aku tak menghargainya.
Kuulurkan tangan kananku menerima amplop itu. Namun ada hal yang janggal begitu aku menyentuhnya. Basah. Itulah yang kurasakan. Aku mengamatinya tanpa sepengetahuan Tuan Lee.
Ada sedikit noda pada amplop merah yang kupegang. Noda merah yang memiliki warna merah lebih pekat—dari amplopnya.
‘Darah!’ desisku dalam hati. Sekuat tenaga kutahan rasa terkejutku.
“Terimakasih, Tuan,” kupaksa mulutku untuk membuka, berharap Tuan Lee tidak curiga.
Beliau tampak tersenyum. Namun beberapa saat setelahnya, seorang wanita keluar dari sebuah kamar yang teretak tak jauh dari ruang tamu.
“Tuan … Tuan … bolehkah aku pulang sekarang?” rintihnya lirih. Kedua matanya tertutup perban putih. Mulutnya robek di kedua sudutnya. Telinganya penuh dengan bercak merah. Dia berjalan terseok mencari-cari pintu keluar—sepertinya. Pakaiannya robek di sana-sini. Sepertinya dia terluka parah.
Tuan Lee tampak terkejut—pun denganku. Mungkin karena refleks, beliau beranjak dari sofa dan segera menghampiri wanita malang itu. Kulihat Tuan Lee menyeretnya masuk.
Tak peduli lagi dengan hujan, aku nekat segera pulang. Segera kuberanjak dari tempat duduk, dan mengambil langkah seribu. Ternyata cerita yang beredar di tengah masyarakat benar adanya. Kisah tentang terbunuhnya pembantu-pembantu Tuan Lee. Mereka semua tewas di tangan Tuan Lee sendiri. Malpraktik, kemudian dimutilasi.
TAMAT
Tak jauh berbeda dengan apa yang kualami saat ini. Aku terpaksa harus terjebak di rumah Tuan Lee. Sebenarnya itu bukan suatu masalah yang perlu dikhawatirkan, mengingat Tuan Lee begitu ramah dan sangat welcome denganku—sampai saat ini.
“Kau terlihat sangat gelisah, apakah ada suatu hal yang akan kaukerjakan setelah ini?” mungkin karena memergokiku sering melihat arloji, Tuan Lee membuka suara.
“Ah, tidak juga, Tuan. Hanya saja kurang sopan rasanya berlama-lama di tempat ini,” jawabku sambil mengulas senyum sopan.
Tuan Lee membalas senyumku, kemudian lengannya yang kekar itu justru menyuguhkan segelas air putih padaku. “Duduklah terlebih dahulu, tak perlu terburu-buru.”
Ah, benar juga. Mungkin sudah sekitar lima menit aku berdiri mematung di depan jendela—dekat pintu. Harusnya aku senang Tuan Lee mempersilahkanku untuk duduk dan sejenak mengusir dahaga. “Ah, baiklah. Terimakasih, Tuan.”
Mau tak mau aku harus duduk di atas sebuah sofa berwarna merah. Kupandangi wajah Tuan Lee malu-malu. Kurasa beliau juga pasti tahu; aku merasa begitu canggung berhadapan dengannya.
“Ngomong-ngomong, terimakasih kau sudah bersedia mengantarkan pesananku. Apa yang terjadi dengan para kurirmu sehingga harus kau sendiri yang mengantarkannya?” tanya Tuan Lee memecah hening di tengah rintik hujan yang makin deras.
Kuletakkan gelas bening berisi air di atas meja—setelah aku minum, kemudian kupandang sepasang iris kecokelatan milik pria berahang tegas itu. “Hari ini merupakan hari libur nasional. Mereka sepakat meminta diliburkan, jadi harus aku sendiri yang mengantarkannya, Tuan.”
Kulihat Tuan Lee mengangguk pelan, memandangi wajahku sebentar … lalu menjawab, “Jika tahu seperti itu, aku tak akan meminta barangku untuk diantarkan.”
“Tak apa, Tuan. Lagipula barang itu sangat penting, kami tak ingin menerima kabar seseorang ditemukan tewas karena kehabisan stok obat,” jawabku sambil memamerkan senyum.
“Sepertinya aku tak salah memilih apotek langganan,” balas Tuan Lee. Lalu kulihat dia merogoh saku kemeja abunya. “Ini untukmu, simpanlah,” ujarnya sembari menyodorkan sebuah amplop merah.
“Maaf, Tuan. Namun kurasa Tuan sudah membayar beban biayanya.”
“Kau benar. Tapi ini sebagai bentuk terimakasihku karena kau telah bersedia mengantar ke sini,” jawabnya meyakinkan.
Orang tuaku pernah mengatakan, bahwa aku tak boleh menolak pemberian seseorang dengan alasan apapun. Karena jika menolaknya, sama saja aku tak menghargainya.
Kuulurkan tangan kananku menerima amplop itu. Namun ada hal yang janggal begitu aku menyentuhnya. Basah. Itulah yang kurasakan. Aku mengamatinya tanpa sepengetahuan Tuan Lee.
Ada sedikit noda pada amplop merah yang kupegang. Noda merah yang memiliki warna merah lebih pekat—dari amplopnya.
‘Darah!’ desisku dalam hati. Sekuat tenaga kutahan rasa terkejutku.
“Terimakasih, Tuan,” kupaksa mulutku untuk membuka, berharap Tuan Lee tidak curiga.
Beliau tampak tersenyum. Namun beberapa saat setelahnya, seorang wanita keluar dari sebuah kamar yang teretak tak jauh dari ruang tamu.
“Tuan … Tuan … bolehkah aku pulang sekarang?” rintihnya lirih. Kedua matanya tertutup perban putih. Mulutnya robek di kedua sudutnya. Telinganya penuh dengan bercak merah. Dia berjalan terseok mencari-cari pintu keluar—sepertinya. Pakaiannya robek di sana-sini. Sepertinya dia terluka parah.
Tuan Lee tampak terkejut—pun denganku. Mungkin karena refleks, beliau beranjak dari sofa dan segera menghampiri wanita malang itu. Kulihat Tuan Lee menyeretnya masuk.
Tak peduli lagi dengan hujan, aku nekat segera pulang. Segera kuberanjak dari tempat duduk, dan mengambil langkah seribu. Ternyata cerita yang beredar di tengah masyarakat benar adanya. Kisah tentang terbunuhnya pembantu-pembantu Tuan Lee. Mereka semua tewas di tangan Tuan Lee sendiri. Malpraktik, kemudian dimutilasi.
TAMAT
PENGANTIN BARBIE
Matahari Senja
Sudah setahun aku bekerja di kediaman kakek Kim. Kakek kaya raya yang kesepian. Walaupun saat ini seluruh anggota keluarganya tengah berkumpul di rumah. Dia tetap saja merasa sendiri. Pasalnya cucu kesayangannya, anak dari tuan Fang sudah tiada. Hanya dia yang bisa menghibur kakek.
Di saat aku menyiapkan makanan. Tiba-tiba kakek memanggilku. Aku berjalan tertunduk malu di tengah tatapan semua orang. Saat di depannya, kakek memberiku angpao berwarna merah. Di tambah sebuah boneka barbie berbaju adat cina. Sungguh cantik sekali. Namun semua anggota keluarga protes akan tindakan kakek. Walaupun mereka memakai bahasa asli. Aku mengerti akan situasinya. Maka aku pun pergi ke dalam kamar.
Namun entah mengapa, ada gaun merah persis seperti baju barbie ini.
"Pakailah! Semua orang telah menantimu!" ucap tuan Fang mengagetkanku.
"Tapi tuan ...,"
"Sudahlah lakukan saja! Kakek sudah menantimu!" perintahnya sekali lagi.
Setelah berganti pakaian. Aku pun menghampiri kakek. Semua mata terkejut melihatku. 'Apa ada yang aneh' batinku.
Di saat aku menyiapkan makanan. Tiba-tiba kakek memanggilku. Aku berjalan tertunduk malu di tengah tatapan semua orang. Saat di depannya, kakek memberiku angpao berwarna merah. Di tambah sebuah boneka barbie berbaju adat cina. Sungguh cantik sekali. Namun semua anggota keluarga protes akan tindakan kakek. Walaupun mereka memakai bahasa asli. Aku mengerti akan situasinya. Maka aku pun pergi ke dalam kamar.
Namun entah mengapa, ada gaun merah persis seperti baju barbie ini.
"Pakailah! Semua orang telah menantimu!" ucap tuan Fang mengagetkanku.
"Tapi tuan ...,"
"Sudahlah lakukan saja! Kakek sudah menantimu!" perintahnya sekali lagi.
Setelah berganti pakaian. Aku pun menghampiri kakek. Semua mata terkejut melihatku. 'Apa ada yang aneh' batinku.
Sambil tetap memegang boneka Barbie, aku bersimpuh di hadapannya. Dan kakek pun menyiumi keningku. Dan dia memberiku minuman di cangkir cina miliknya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja pandanganku berputar-putar, tubuh ini terasa ringan.
Setelah semuanya reda. Perlahan kubuka mataku. Tak ada yang berubah. Hanya saja, cucu kesayangan kakek kini tepat di sampingku. Wajahnya yang pucat menatapku. Senyumnya mengembang saat kakek berkata, "Mulai sekarang, kalian sudah sah menjadi suami istri!"
Aku pun berusaha mengelak. Tapi tubuhku tak bisa di gerakkan. Tuan Fang menghampiriku. Bukan. Bukan aku, melainkan tubuhku yang sudah terbujur kaku. Terlihat di keningku ada secarik kertas mantra. Dan tubuhku diikat benang putih yang menghubung pada boneka barbie itu. Mau tak mau, aku pun mengikuti tuan Fang masuk ke dalam kamar pengantin bersama cucu kesayangan kakek.
TAMAT
Sekian daftar karya para Hantu Panchake untuk Parade Horor edisi minggu ini. Selamat membaca dan berikan apresiasi berupa saran dan kritik yang membangun agar menjadi cambukan semangat bagi para penulisnya. Sampai bertemu di Parade Horor selanjutnya.
Wah kesepiannya, mejeng sendirian di blog ini :'(
ReplyDelete:D
ReplyDeleteYeee ada kak Ana nemenin walau dikomentar hihi :D
ReplyDeletegak jadi komen ah 😯
ReplyDelete:D wkwkwk
ReplyDeleteItu koment kak ahahaha
ReplyDelete