Hari Selasa waktunya Makam Panchake dibanjiri virus pink dalam program Parade Cerita Cinta. Untuk minggu ini, Panchake mengangkat tema "Kejutan". Siapa sih yang nggak suka sama kejutan, apalagi kalo kejutannya manis bin romantis. Seperti apa para Hantu Panchake memaknai tema tersebut, berikut ini daftar karya yang telah direkap oleh admin.
ANOTHER STORY OF LOVE
Endang Indri Astuti
Jika mengungkapkan cinta itu mudah, tentu aku sudah bersanding dengannya sekarang. Bisa jadi aku akan mengurangi populasi jomblo ngenes yang cuman bisa memandang hujan saat malam minggu datang lalu berdoa agar hujan tak jua reda, mengenaskan bukan? Bahkan untuk sekedar menyapa dia, ehem ... gadis berambut hitam dengan mata cokelat sayu yang duduk di bangku paling depan dekat pintu kelas seberang itu aku tak punya keberanian. Klise, aku layaknya penggemar rahasia yang kadang mencuri pandang di sela-sela pejaran Guru Fisika yang membuatku bosan karena rumus yang tak pernah mau nyantol di otakku. Mungkin memori kapasitas otakku telah didesain untuk tidak menangkap pelajaran fisika dalam bentuk apapun, secuil radar ilmunya pun tidak, mengenaskan!
Kembali ke dia penghuni bangku pojok depan dekat pintu, uh ... penghuni? Bukan, maksudnya bidadari berwujud manusia yang duduk di bangku pojok depan itu bernama Ulfa, dia cantik dan kecantikannya tak seperti cewek lainnya, itu di mataku, kalau di mata kalian aku juga tak tahu. Hampir 5 semester aku mengaguminya, namun takdir seolah bertolak belakang dengan impianku untuk mendapatkan hatinya. Atau Tuhan sedang menitipkan ujian cinta yang aku harus aku tempuh untuk menjadi takdirnya.
“Sampai kapan Loe mau mandangin dia terus, Nan?” Aria teman sebangkuku menyenggol sikutku lumayan keras.
“Berisik Loe, siapa yang mandangin,” lirihku pada Aria, lalu mengalihkan pandanganku berpura-pura sibuk mencatat pelajaran Fisika yang tertulis di Whiteboard.
“Ha ... ha .... Loe mau nyatat apa, Nan. Tulisan yang di papan tulis itu udah halaman kelima sejak kamu melamun, ehem bukan mengintai, ah terlalu lebay. Maksudnya mandangin dia terus,” tunjuk Aria ke arah Ulfa, aku pun langsung melipat tangannya sebelum Pak Aryo si guru Fisika melihat kelakuan noraknya.
“Singkirkan tangan loe, loe tuh malu-maluin aja, gue gak mandangin dia,” elakku pada Aria.
Aria terkikik menahan tawa, sialan dia mengejekku. “Yakin? Duh manisnya sahabatku Dinan ini kalau lagi bohong,” ujarnya sambil menowel daguku, ih ... dia membuatku risih dengan tingkahnya, bagaimana jika orang lain lihat, bisa jadi mereka berpeikir kalau aku dan Aria ini bukan pria normal dalam tanda kutip kamu tahu sendirilah tanpa kusebutkan.
“Aria, STOP!!!” teriakku sambil berdiri, seisi kelas menoleh padaku termasuk Pak Aryo yang langsung menatapku tajam.
Mati Aku!
“Dinan!!! Seusai pelajaran kamu ke ruangan saya!!!” teriak Pak Aryo dengan napas yang hampir menyembur ke seluruh penjuru kelas.
“Ba-Baik, Pak,” aku mendengus kesal, lalu melirik Aria dengan tatapan, “Awas kamu!!!” sementara Aria malah tersenyum cekikikan.
***
Kembali ke dia penghuni bangku pojok depan dekat pintu, uh ... penghuni? Bukan, maksudnya bidadari berwujud manusia yang duduk di bangku pojok depan itu bernama Ulfa, dia cantik dan kecantikannya tak seperti cewek lainnya, itu di mataku, kalau di mata kalian aku juga tak tahu. Hampir 5 semester aku mengaguminya, namun takdir seolah bertolak belakang dengan impianku untuk mendapatkan hatinya. Atau Tuhan sedang menitipkan ujian cinta yang aku harus aku tempuh untuk menjadi takdirnya.
“Sampai kapan Loe mau mandangin dia terus, Nan?” Aria teman sebangkuku menyenggol sikutku lumayan keras.
“Berisik Loe, siapa yang mandangin,” lirihku pada Aria, lalu mengalihkan pandanganku berpura-pura sibuk mencatat pelajaran Fisika yang tertulis di Whiteboard.
“Ha ... ha .... Loe mau nyatat apa, Nan. Tulisan yang di papan tulis itu udah halaman kelima sejak kamu melamun, ehem bukan mengintai, ah terlalu lebay. Maksudnya mandangin dia terus,” tunjuk Aria ke arah Ulfa, aku pun langsung melipat tangannya sebelum Pak Aryo si guru Fisika melihat kelakuan noraknya.
“Singkirkan tangan loe, loe tuh malu-maluin aja, gue gak mandangin dia,” elakku pada Aria.
Aria terkikik menahan tawa, sialan dia mengejekku. “Yakin? Duh manisnya sahabatku Dinan ini kalau lagi bohong,” ujarnya sambil menowel daguku, ih ... dia membuatku risih dengan tingkahnya, bagaimana jika orang lain lihat, bisa jadi mereka berpeikir kalau aku dan Aria ini bukan pria normal dalam tanda kutip kamu tahu sendirilah tanpa kusebutkan.
“Aria, STOP!!!” teriakku sambil berdiri, seisi kelas menoleh padaku termasuk Pak Aryo yang langsung menatapku tajam.
Mati Aku!
“Dinan!!! Seusai pelajaran kamu ke ruangan saya!!!” teriak Pak Aryo dengan napas yang hampir menyembur ke seluruh penjuru kelas.
“Ba-Baik, Pak,” aku mendengus kesal, lalu melirik Aria dengan tatapan, “Awas kamu!!!” sementara Aria malah tersenyum cekikikan.
***
Aku berjalan menyusuri lorong kelas dengan hati berdebar. Ah ... sial, aku harus menerima konsekuensi dari perbuatan yang tidak sepenuhnya salahku, apa rasa mengagumi titipan Tuhan ini salah?
Kuketuk pintu bercat cokelat dengan papan kecil bertuliskan “Ruang Guru” dengan sedikit gemetar.
“Masuk,” terdengar suara Pak Aryo dari dalam, aku pun membuka pintu.
Dia? Kenapa dia ada di sini?
Pandanganku langsung tertuju pada Ulfa yang tengah duduk di depan Pak Aryo sambil menatapku dengan senyum tersamar di sudut bibirnya.
“Duduklah, Nan,” perintah Pak Aryo, kugeser kursi di samping Ulfa lalu duduk.
Mataku mencuri pandang pada gadis di sampingku yang tengah berlindung di bawah mata sayunya lalu menunduk ketika kilatan ujung mataku menyambarnya. Ulfa tersenyum malu, apa aku begitu kentara menyukainya.
“Ehem,” suara deheman Pak Aryo mengagetkanku, aku tergagap lalu memandang Pak Aryo, untuk sementara mari kita dengarkan hukuman apa yang akan dia berikan.
“Dinan, akhir-akhir ini saya lihat nilai fisika kamu terus menurun, ada apa denganmu?” tanya Pak Aryo padaku, “Apa kamu tidak bisa konsentrasi dengan pelajaran yang saya berikan?” lanjutnya lagi.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, bagaimana aku bisa konsentrasi belajar bila gadis manis di sampingku ini selalu menyita konsentrasiku. Haruskah ini aku jelaskan padamu pak guru Fisika yang bahkan dalam rumus apapun tak dijelaskan.
“Hem ... mungkin Pak, saya kurang begitu memahami yang Bapak ajarkan,” ujarku beralasan.
Tunggu! Apa Ulfa juga di panggil karena kasus yang sama denganku? Apa dia juga bodoh sama sepertiku?
“Baiklah, kalau begitu besok kamu ikut les tambahan,” tegas Pak Aryo.
Hah! Les tambahan? Demi apapun di dunia ini mendengar pelajarannya yang hanya dua jam setiap seminggu dua kali sudah cukup membuatku migrain apalagi ditambah dengan les tambahan. Mau jadi apa masa depanku nanti, sudah bisa dipastikan rambutku akan lebih cepat beruban dari masa aktifnya. Wajahku yang setampan Taylor Lautner ini bisa dipastikan akan menjadi makhluk langka abad ini, jenis spesies langka yang akan segera punah.
“Iya, Ulfa yang akan mengajari kamu.”
Cless ... seperti ada yang menyejukkan hatiku ketika nama Ulfa disebut, aku bahkan mengulang-ulang ucapan Pak Aryo barusan masih mendelik tak percaya. Kenapa gak bilang dari tadi Bapak Aryo ini, tahu gitu aku pasti langsung setuju.
“Maksud Bapak?” tanyaku pura-pura bodoh.
“Iya, Ulfa ini murid terpintar di kelasnya apalagi soal Fisika dia ini jagonya, kamu bisa les privat sama dia, saya sudah tanya Ulfa dan dia bersedia ngajarin kamu,” jelas Pak Aryo.
Membayangkan les privat berdua saja dengan Ulfa sudah membuat hatiku berdetak tak sesuai porsinya, apalagi berduaan dengannnya aku yakin jantungku harus terbiasa terkena serangan kecil dadakan.
“Hai, kita belum kenalan, aku Ulfa” ujarnya menyodorkan tangan.
“Aku sudah kenal kamu kok bahkan sejak semester awal,” desisku pelan.
“Apa?” selidik Ulfa yang ternyata mendengar desisanku.
“Ah, enggak. Aku Dinan,” ujarku menyambut uluran tangan Ulfa.
“Jadi gimana? Apa kamu mau Dinan?” tanya Pak Aryo, dengan sigap aku mengganggup, “Siap Pak, aku menerimanya,” ucapku sambil tersenyum lebar. Mana mungkin aku bisa menolaknya?
***
Itu hari pertama yang tak pernah kulupakan dalam hidupku, hari pertama aku berjabat tangan dengan orang yang kukagumi selama lebih dari 5 semester, bayangkan! Dan hari pertama di mana hubungan kami dimulai, hubungan antar teman maksudnya. Setiap kali ingin memintanya untuk menjadi milikku, selalu saja ada badai yang entah itu muncul dari mana, sampai hari ini badai itu mencapai klimaksnya.
“Kamu mau pergi?” tanyaku heran ketika sore ini Ulfa berpamitan padaku, dia akan pindah ke Medan.
“Iya, orang tuaku pindah tugas, jadi aku harus ikut,” jelas Ulfa sambil memakan cokelat batangan, ya dia suka sekali cokelat, apa itu juga yang membuatnya bertambah manis. Wajahnya terlihat berat meninggalkan kota ini.
“Tidak bisakah kau tinggal?” tanyaku pada Ulfa, dia menggeleng pelan.
“Aku suka kota ini, aku suka teman-temanku, tapi aku harus pergi,” ujarnya dengan wajah berbinar.
“Aku pasti akan merindukanmu,” aku menunduk dalam dan mendesis pelan, lelaki macam apa kau ini? Harusnya aku mengatakan padanya aku mencintainya, tapi entah kenapa kata-kata semacam itu selalu nyangkut di tenggorokanku.
“Aku juga,” ujarnya sambil tersenyum. Dia mendengar ucapanku yang langsung membuatku salah tingkah.
“Tunggu sebentar,” ujarku begitu melihat toko buku di seberang jalan, aku pun berlari meninggalkan Ulfa, aku ingin memberinya hadiah sebelum dia pergi.
Aku berjalan menyusuri lorong yang berisi novel-novel romantis, kuambil satu lalu keserahkan ke kasir, tak lupa kusahut sebuah kartu ucapan dan bolpoin, kutuliskan sebuah pesan singkat pada kartu ucapan itu, semoga Ulva memahaminya.
Ulfa, aku menyukaimu ...
Lalu kuselipkan pada lembaran novel yang telah ku buka plastik pembungkusnya.
Jeder!!!
Kilat tak bernyawa sedang menyambar ubun-ubunku, Aria menggandeng mesra tangan Ulfa sambil saling melempar senyum di luar toko buku, masih di taman tempatku dan Ulfa tadi bertemu. Aku pun segera berlari ke arah mereka.
“Hai, Nan,” sapa Aria sumringah, aku mengabaikannya.
“Dinan, kenalin ini Aria, pacar baruku,” tunjuk Ulfa pada Aria.
Tunggu aku ketinggalan part dimana Ulfa dan Aria jadian, bahkan Aria tak bilang padaku kalau dia mencintai Ulfa.
“Sorry, Bro. Gue dijodohin ma nyokap sama Ulfa, Loe tahu nyokap gue kan? Dia bisa mati jantungan kalau aku gak menjalankan misi negaranya,” bisik Aria pelan di telingaku. Sial, aku yang telah berjuang selama 5 semester, tapi justru keadaan berbalik hanya karena serangan Emak Aria yang datang tiba-tiba, benar-benar counter attack yang di luar prediksiku.
“Jaga dia baik-baik, kalau tidak kubunuh kau,” ancamku pada Aria, dia tersenyum lalu menyalami tanganku dan pergi bersama pujaan hatiku yang telah berlalu.
Sialan, aku terlambat. Kamvret ... Ini semua bukan salah Ulfa, bukan salah Aria tapi salahku. Ya ... terlalu lama memendam perasaan tanpa mampu mengungkapkan bisa jadi temanmu duluan yang mendapatkan cinta yang kau dambakan.
TAMAT
Ternyata hanya ada satu karya yang berhasil terdata. Nggak apa-apa, mari kita ucapkan selamat dan dukungan kepada Endang Indri Astuti, agar terus mempertahankan semangatnya menulis dan menciptakan karya. Berikan apresiasi berupa saran serta kritik yang membangun di kolom komentar. Sealmat membaca dan salam iterasi!
No comments:
Post a Comment
Selamat datang para pengunjung. Bebaskan dirimu dalam berekspresi menggunakan kata-kata selama sopan dan tidak mengandung SARA. Apakah artikel ini menarik bagimu? Silahkan meninggalkan opini, pesan, dan kesan di kolom komentar.
- Admin -