Berikut ini adalah rekapitulasi karya para hantu Panchake untuk Parade Cerpen Bebas edisi 16 Februari 2015. Seperti yang diketahui bahwa Parade Cerpen Bebas merupakan wadah bagi para hantu menyalurkan hobinya menulis dengan tema apa pun dan dengan genre apa pun.
CINTAKU
Regina Eka Setiawan
Romance
Cinta. Satu kata itu sudah tidak asing lagi bukan? Hanya sebuah kata sederhana dengan lima huruf di dalamnya, tapi bermakna begitu besar.
Kau tahu? Cinta bisa membuatmu menjadi lebih lemah atau malah menjadi lebih kuat. Cinta bisa membuatmu bahagia dan sengsara dalam waktu yang bersamaan. Cinta juga bisa merubah hidupmu. Menjadi gelap atau terang. Kita juga tidak bisa menentukan pada siapa kita jatuh cinta, dan kapan cinta itu akan berakhir, karena takdir yang akan menentukannya.
Kau tidak akan bisa melakukan apapun saat kau sudah jatuh cinta. Cinta itu akan mempengaruhi akal sehatmu, membuatmu tidak bisa berpikir panjang. Kau bahkan akan melakukan tindakan bodoh apapun hanya untuk cinta. Kau juga akan terus bertahan walau kau sudah lelah untuk cinta. Ya, cinta memang bisa memperbudakmu. Jadi, berahati-hatilah jika kau sudah jatuh cinta.
Kau juga harus ingat, bahwa setiap orang memiliki pendapat berbeda tentang cinta. Dari pendapat yang membuatmu tersentuh hingga yang kau anggap tak masuk akal.
Inilah salah satu cerita cinta yang bisa memperbudakmu sesukanya. Selamat membaca!
***
Aku lelah, sangat lelah. Tapi cinta ini, sangat kuat untukmu, membuatku terus berjuang agar kau dapat berubah. Nyatanya, setelah bertahun-tahun mencoba, kau masih seperti yang dulu. Aku, kau perlakukan seperti barang. Kau hanya datang padaku, saat kau membutuhkanku, dan pergi begitu saja saat kau tak lagi membutuhkanku.
Jika kau memang tak menginginkanku, mengapa kau tidak membuangku saja? Apa karena sumpah pernikahan yang pernah kau ucapkan bertahun-tahun yang lalu? Atau, karena kau menginginkan apa yang kumiliki? Melepaskanku lebih baik dibandingkan kau begini, memberiku harapan kosong yang tak berujung. Memberiku luka batin yang dalam.
Aku telah memberikan segalanya untukmu. Ya, segalanya. Hingga aku rela pergi meninggalkan keluargaku, cita-cita, dan hal berharga lainnya hanya untukmu, untuk cintaku, cinta gila yang tak akan pernah padam baranya.
Kau menduakanku, dan aku masih saja diam di tempat. Tak beranjak sedikit pun. Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini. Kau selalu bersenang-senang dengan para wanita jalang itu, sementara isterimu sendiri kau abaikan. Kau berfoya-foya di luar sana, dan aku di sini mencari uang untuk kita.
Banyak orang yang bilang bahwa aku ini pintar, cerdas, dan terpelajar. Kenyataannya? Aku begitu bodoh. Bodoh karena aku masih saja bertahan denganmu, setelah selama ini kau melukaiku, baik fisik maupun batin.
Jika aku mau, aku bisa saja meninggalkanmu dan menikah dengan pria lainnya. Pria yang lebih baik darimu. Tapi cinta gila ini menahanku untuk tetap setiaa di sisimu hingga kau benar-benar membuangku.
Orang-orang bilang, kita adalah pasangan yang serasi dan saling melengkapi. Aku merasa sangat beruntung mendapatkanmu, tapi kau selalu berkata aku adalah pembawaa sial untukmu.
Saat kita berpacaran dulu, kau begitu manis. Kau selalalu memberikan apa yang kuinginkan, janji manis selalu terucap dari mulutmu, semua itu membuatku melayang. Tapi kenapa? Kenapa kau berubah semenjak menikah?
Kau sangat jarang pulang ke rumah ini. Tapi saat kau pulang, kau selalu pulang dalam keadaan mabuk berat. Esoknya, setelah kau sadar, kau kembali pergi entah ke mana.
Kau tahu bukan bila keluargaku tidak merestui pernikahan kita karena sebuah peristiwa di masa lalu? Aku tidak memikirkan restu dari mereka, aku hanya memikirkanmu, hanya kau dan aku tidak pernah menyesal. Tapi kini walaupun kau terus begini, aku masih tetap tidak menyesal.
Aku sangat rindu kau yang dulu. Yang selalu memanjakanku. Tidak bisakah kau kembali seperti dulu? Tuhan, aku selalu berdoa padamu, tapi kenapa kau tak mengabulkannya? Apa aku ini pendosa? Atau memang aku tak lagi berati di matamu?
Aku akan terus berjuang untukmu, suamiku. Tapi suatu saat nanti, aku juga pasti akan menyerah. Dan saat itulah, aku akan mati membawa cintaku untukmu yang akan selalu abadi.
Dari isterimu, Diana.
***
Aku terduduk lemas di lantai setelah membaca surat dari Diana yang dia berikan sebelum dia kecelakaan kemarin sore. Kebetulan kemarin sore aku pulang ke rumah ini, entah kenapa aku sangat ingin bertemu dengan Diana.
Air mata tidak mau turun dari kelopak mataku, padahal saat ini hatiku sangat sesak, bagaikan dihimpit dua buah batu besar.
Kuakui semua yang dia tulis di surat itu benar adanya. Aku melakukannya karena aku menganggap dia pembawa sial untukku. Sejak kami menikah beberapa tahun lalu, masalah tidak pernah berhenti berdatangan. Kematian orangtuaku, kebangkrutan perusahaan yang kubangun dari nol, dan hal lainnya. Anggaplah kalau aku ini kekanakan, tapi bagaimana mungkin aku tidak seperti itu, sementara keluarga besarku selalau bicara tentang hal itu?
Dan, kenapa aku tidak pernah melepaskannya, itu karena aku mencintai dia. Aku tidak mau dia jatuh ke tangan orang lain. Aku egois, ya sangat egois. Tapi sudah terlambat untuk menyesal. Dia tak akan mendengarkan penyesalanku, karena dia sudah tidak lagi di sisiku, dia sudah kembali ke pangkuan Tuhan.
Diana, maafkan aku. Maafkan atas segala sikap dan prilakuku selama ini. Dan, Tuhan maafkan hamba-Mu ini yang tidak bisa menjaganya dengan baik. Terimalah dia di sisi-Mu.
TAMAT
Kau tahu? Cinta bisa membuatmu menjadi lebih lemah atau malah menjadi lebih kuat. Cinta bisa membuatmu bahagia dan sengsara dalam waktu yang bersamaan. Cinta juga bisa merubah hidupmu. Menjadi gelap atau terang. Kita juga tidak bisa menentukan pada siapa kita jatuh cinta, dan kapan cinta itu akan berakhir, karena takdir yang akan menentukannya.
Kau tidak akan bisa melakukan apapun saat kau sudah jatuh cinta. Cinta itu akan mempengaruhi akal sehatmu, membuatmu tidak bisa berpikir panjang. Kau bahkan akan melakukan tindakan bodoh apapun hanya untuk cinta. Kau juga akan terus bertahan walau kau sudah lelah untuk cinta. Ya, cinta memang bisa memperbudakmu. Jadi, berahati-hatilah jika kau sudah jatuh cinta.
Kau juga harus ingat, bahwa setiap orang memiliki pendapat berbeda tentang cinta. Dari pendapat yang membuatmu tersentuh hingga yang kau anggap tak masuk akal.
Inilah salah satu cerita cinta yang bisa memperbudakmu sesukanya. Selamat membaca!
***
Aku lelah, sangat lelah. Tapi cinta ini, sangat kuat untukmu, membuatku terus berjuang agar kau dapat berubah. Nyatanya, setelah bertahun-tahun mencoba, kau masih seperti yang dulu. Aku, kau perlakukan seperti barang. Kau hanya datang padaku, saat kau membutuhkanku, dan pergi begitu saja saat kau tak lagi membutuhkanku.
Jika kau memang tak menginginkanku, mengapa kau tidak membuangku saja? Apa karena sumpah pernikahan yang pernah kau ucapkan bertahun-tahun yang lalu? Atau, karena kau menginginkan apa yang kumiliki? Melepaskanku lebih baik dibandingkan kau begini, memberiku harapan kosong yang tak berujung. Memberiku luka batin yang dalam.
Aku telah memberikan segalanya untukmu. Ya, segalanya. Hingga aku rela pergi meninggalkan keluargaku, cita-cita, dan hal berharga lainnya hanya untukmu, untuk cintaku, cinta gila yang tak akan pernah padam baranya.
Kau menduakanku, dan aku masih saja diam di tempat. Tak beranjak sedikit pun. Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini. Kau selalu bersenang-senang dengan para wanita jalang itu, sementara isterimu sendiri kau abaikan. Kau berfoya-foya di luar sana, dan aku di sini mencari uang untuk kita.
Banyak orang yang bilang bahwa aku ini pintar, cerdas, dan terpelajar. Kenyataannya? Aku begitu bodoh. Bodoh karena aku masih saja bertahan denganmu, setelah selama ini kau melukaiku, baik fisik maupun batin.
Jika aku mau, aku bisa saja meninggalkanmu dan menikah dengan pria lainnya. Pria yang lebih baik darimu. Tapi cinta gila ini menahanku untuk tetap setiaa di sisimu hingga kau benar-benar membuangku.
Orang-orang bilang, kita adalah pasangan yang serasi dan saling melengkapi. Aku merasa sangat beruntung mendapatkanmu, tapi kau selalu berkata aku adalah pembawaa sial untukmu.
Saat kita berpacaran dulu, kau begitu manis. Kau selalalu memberikan apa yang kuinginkan, janji manis selalu terucap dari mulutmu, semua itu membuatku melayang. Tapi kenapa? Kenapa kau berubah semenjak menikah?
Kau sangat jarang pulang ke rumah ini. Tapi saat kau pulang, kau selalu pulang dalam keadaan mabuk berat. Esoknya, setelah kau sadar, kau kembali pergi entah ke mana.
Kau tahu bukan bila keluargaku tidak merestui pernikahan kita karena sebuah peristiwa di masa lalu? Aku tidak memikirkan restu dari mereka, aku hanya memikirkanmu, hanya kau dan aku tidak pernah menyesal. Tapi kini walaupun kau terus begini, aku masih tetap tidak menyesal.
Aku sangat rindu kau yang dulu. Yang selalu memanjakanku. Tidak bisakah kau kembali seperti dulu? Tuhan, aku selalu berdoa padamu, tapi kenapa kau tak mengabulkannya? Apa aku ini pendosa? Atau memang aku tak lagi berati di matamu?
Aku akan terus berjuang untukmu, suamiku. Tapi suatu saat nanti, aku juga pasti akan menyerah. Dan saat itulah, aku akan mati membawa cintaku untukmu yang akan selalu abadi.
Dari isterimu, Diana.
***
Aku terduduk lemas di lantai setelah membaca surat dari Diana yang dia berikan sebelum dia kecelakaan kemarin sore. Kebetulan kemarin sore aku pulang ke rumah ini, entah kenapa aku sangat ingin bertemu dengan Diana.
Air mata tidak mau turun dari kelopak mataku, padahal saat ini hatiku sangat sesak, bagaikan dihimpit dua buah batu besar.
Kuakui semua yang dia tulis di surat itu benar adanya. Aku melakukannya karena aku menganggap dia pembawa sial untukku. Sejak kami menikah beberapa tahun lalu, masalah tidak pernah berhenti berdatangan. Kematian orangtuaku, kebangkrutan perusahaan yang kubangun dari nol, dan hal lainnya. Anggaplah kalau aku ini kekanakan, tapi bagaimana mungkin aku tidak seperti itu, sementara keluarga besarku selalau bicara tentang hal itu?
Dan, kenapa aku tidak pernah melepaskannya, itu karena aku mencintai dia. Aku tidak mau dia jatuh ke tangan orang lain. Aku egois, ya sangat egois. Tapi sudah terlambat untuk menyesal. Dia tak akan mendengarkan penyesalanku, karena dia sudah tidak lagi di sisiku, dia sudah kembali ke pangkuan Tuhan.
Diana, maafkan aku. Maafkan atas segala sikap dan prilakuku selama ini. Dan, Tuhan maafkan hamba-Mu ini yang tidak bisa menjaganya dengan baik. Terimalah dia di sisi-Mu.
TAMAT
YOU
Kawaii Cella
Romance
Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, biarlah aku yang menanggungnya. Aishiteru yo ....
***
Aku membuka mataku perlahan. Sial. Kepalaku terasa sangat berat. Dengan sedikit memaksa, aku bangkit dari tidurku. Ekor mataku menangkap sosok yang sedang terbaring di sebelahku.
Seorang gadis, dengan rambut hitam panjang. Tubuh mungilnya hanya terbalut kemeja besar putih yang aku yakini bahwa itu adakah kemejaku.
Hampir saja aku menjerit. Aku belum pernah membawa seorang gadispun ke rumah. Apalagi sampai menginap seperti ini.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatku, aku dan Daichi, pergi ke- .... Aku ingat sekarang. Daichi mengajakku ke taman, dan dia menawariku minum untuk merayakan berakhirnya ujian kelas tiga.
Kami agak mabuk, lalu saat perjalanan pulang, kami menemukan gadis ini. Meringkuk di sudut taman dalam keadaan basah dan menggigil. Lalu aku membawanya pulang.
Aku merutuki diriku yang dengan bodoh mau saja tergoda untuk minum. Tapi lebih bodoh lagi karena aku membawa gadis yang tidak dikenal ke rumah.
"Mm ...." Gadis itu mulai terbangun, lalu menatapku. Matanya sungguh cantik. Aku seperti terhisap ke dalamnya. "Pagi," sapanya sambil tersenyum. Oh, Tuhan. Aku benar-benar berharap bahwa ini adalah mimpi.
***
Gadis itu bernama Sakura. Dia bilang, dia berasal dari masa lalu. Tapi aku tidak percaya. Mungkin dia hanya gadis aneh yang sedang berhalusinasi.
Sialnya, aku terjebak bersamanya. Untung saja orang tuaku sedang berada di luar kota untuk beberapa minggu ke depan. Tapi, aku tidak mungkin terus-terusan membiarkannya di rumah.
"Mungkin aku harus mencari keluarganya," ucapku. Daichi tertawa, lalu menatapku. Saat ini, kami tengah berada di taman. Tempat kami menemukan Sakura.
"Bukankah dia bilang dari masa lalu?" Aku melirik Daichi, lalu kembali melihat Sakura yang tengah asyik bermain air pancuran.
Memang, saat kami menemukannya, dia mengenakan kimono besar berwarna ungu, seperth gadis-gadis jaman dulu. Aku harus membelikannya baju karena tidak mungkin dia keluar dengan kimono seperti itu.
"Bukankah dia cukup cantik?" tanya Daichi sambil menenggak habis kopinya. Memang, Sakura sangat cantik, dan aku lumayan menyukainya. Tapi aku tidak tahu apa dan siapa dia.
"Aku seorang shirabyoushi," ujarnya saat aku menanyakan tentang dirinya.
"Shira- apa?"
"Shirabyoushi. Aku seorang penyanyi dan penyanyi. Aku menghibur para tamu yang datang ke istana," jelasnya.
"Hmm .... Bagaimana kau bisa sampai di taman?" tanyaku. Untung saja kamarku lumayan lebar. Jadi Sakura bebas berlarian di sini.
"Entahlah. Saat itu bulan gelap. Aku sedang menyanyi untuk Tuan Ryoha. Tahu-tahu, saat tengah menari, aku seperti terseret dan sampai di taman. Lalu aku bertemu denganmu," jelasnya lagi. Aku mencoba berpikir. Bulan gelap? Purnama?
Haaah .... Aku tidak mengerti sama sekali. Sakura menatapku. Dia kemudian mengambil sebuah kipas kayu yang berada di atas meja, kemudian bernyanyi. Suara dan tariannya sangat indah. Aku merasa seluruh tubuhku ringan. Tak lama, aku terlelap.
***
Sudah hampir satu bulan Sakura tinggal di rumahku. Aku merasa mulai nyaman dengannya sekarang.
"Aoi, jika di istana, aku tidak boleh memiliki perasaan pada lelaki lain," ujar Sakura. Aku menatapnya yang tengah duduk di sisi tempat tidur.
"Kau menyukaiku?" tebakku. Aku melihat wajahnya langsung merona. Ekspresinya benar-benar membuatku gila. Aku mendekatkan wajahku, lalu mengecup pelan bibirnya.
"Jika ini di istana-,"
"Tapi ini bukan di istana. Ini rumahku, dan aku berharap, kau berada di sisiku selamanya," ucapku. Sakura membelalakkan matanya. Dia mengangguk pelan, kemudian memelukku.
"Saat aku bernyanyi di istana, aku berharap aku bertemu dengan cinta sejatiku. Lalu aku sampai di sini. Mungkit langit, menjawab permintaanku," bisiknya lembut. Aku mengangguk.
Aku pikir, kami dapat bersama. Namun aku salah. Tubuh Sakura tiba-tiba saja bercahaya. Aku menatapnya bingung.
"Aoi, bulannya ...." Aku menoleh ke arah jendela. Bulan purnama. Jangan-jangan ....
"Sepertinya langit tidak ingin kita bersama ...," ujarku pahit. Sakura menggelengkan kepalanya. Dia mencengkram bajuku erat.
"Aku, tidak ingin berpisah!" teriaknya. Tubuh Sakura mulai terlihat menghilang. Wajahnya di basahi air mata. "Aku ...mencintaimu, Aoi"
Dalam hitungan detik, Sakura menghilang dari pandanganku.
***
Aku menatap ke arah taman, tempat pertama kali kami bertemu. Semuanya terasa seperti mimpi.
"Aoi ...." Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Rasanya aku seperti mendengar suara Sakura.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu berjalan meninggalkan taman.
TAMAT
***
Aku membuka mataku perlahan. Sial. Kepalaku terasa sangat berat. Dengan sedikit memaksa, aku bangkit dari tidurku. Ekor mataku menangkap sosok yang sedang terbaring di sebelahku.
Seorang gadis, dengan rambut hitam panjang. Tubuh mungilnya hanya terbalut kemeja besar putih yang aku yakini bahwa itu adakah kemejaku.
Hampir saja aku menjerit. Aku belum pernah membawa seorang gadispun ke rumah. Apalagi sampai menginap seperti ini.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatku, aku dan Daichi, pergi ke- .... Aku ingat sekarang. Daichi mengajakku ke taman, dan dia menawariku minum untuk merayakan berakhirnya ujian kelas tiga.
Kami agak mabuk, lalu saat perjalanan pulang, kami menemukan gadis ini. Meringkuk di sudut taman dalam keadaan basah dan menggigil. Lalu aku membawanya pulang.
Aku merutuki diriku yang dengan bodoh mau saja tergoda untuk minum. Tapi lebih bodoh lagi karena aku membawa gadis yang tidak dikenal ke rumah.
"Mm ...." Gadis itu mulai terbangun, lalu menatapku. Matanya sungguh cantik. Aku seperti terhisap ke dalamnya. "Pagi," sapanya sambil tersenyum. Oh, Tuhan. Aku benar-benar berharap bahwa ini adalah mimpi.
***
Gadis itu bernama Sakura. Dia bilang, dia berasal dari masa lalu. Tapi aku tidak percaya. Mungkin dia hanya gadis aneh yang sedang berhalusinasi.
Sialnya, aku terjebak bersamanya. Untung saja orang tuaku sedang berada di luar kota untuk beberapa minggu ke depan. Tapi, aku tidak mungkin terus-terusan membiarkannya di rumah.
"Mungkin aku harus mencari keluarganya," ucapku. Daichi tertawa, lalu menatapku. Saat ini, kami tengah berada di taman. Tempat kami menemukan Sakura.
"Bukankah dia bilang dari masa lalu?" Aku melirik Daichi, lalu kembali melihat Sakura yang tengah asyik bermain air pancuran.
Memang, saat kami menemukannya, dia mengenakan kimono besar berwarna ungu, seperth gadis-gadis jaman dulu. Aku harus membelikannya baju karena tidak mungkin dia keluar dengan kimono seperti itu.
"Bukankah dia cukup cantik?" tanya Daichi sambil menenggak habis kopinya. Memang, Sakura sangat cantik, dan aku lumayan menyukainya. Tapi aku tidak tahu apa dan siapa dia.
"Aku seorang shirabyoushi," ujarnya saat aku menanyakan tentang dirinya.
"Shira- apa?"
"Shirabyoushi. Aku seorang penyanyi dan penyanyi. Aku menghibur para tamu yang datang ke istana," jelasnya.
"Hmm .... Bagaimana kau bisa sampai di taman?" tanyaku. Untung saja kamarku lumayan lebar. Jadi Sakura bebas berlarian di sini.
"Entahlah. Saat itu bulan gelap. Aku sedang menyanyi untuk Tuan Ryoha. Tahu-tahu, saat tengah menari, aku seperti terseret dan sampai di taman. Lalu aku bertemu denganmu," jelasnya lagi. Aku mencoba berpikir. Bulan gelap? Purnama?
Haaah .... Aku tidak mengerti sama sekali. Sakura menatapku. Dia kemudian mengambil sebuah kipas kayu yang berada di atas meja, kemudian bernyanyi. Suara dan tariannya sangat indah. Aku merasa seluruh tubuhku ringan. Tak lama, aku terlelap.
***
Sudah hampir satu bulan Sakura tinggal di rumahku. Aku merasa mulai nyaman dengannya sekarang.
"Aoi, jika di istana, aku tidak boleh memiliki perasaan pada lelaki lain," ujar Sakura. Aku menatapnya yang tengah duduk di sisi tempat tidur.
"Kau menyukaiku?" tebakku. Aku melihat wajahnya langsung merona. Ekspresinya benar-benar membuatku gila. Aku mendekatkan wajahku, lalu mengecup pelan bibirnya.
"Jika ini di istana-,"
"Tapi ini bukan di istana. Ini rumahku, dan aku berharap, kau berada di sisiku selamanya," ucapku. Sakura membelalakkan matanya. Dia mengangguk pelan, kemudian memelukku.
"Saat aku bernyanyi di istana, aku berharap aku bertemu dengan cinta sejatiku. Lalu aku sampai di sini. Mungkit langit, menjawab permintaanku," bisiknya lembut. Aku mengangguk.
Aku pikir, kami dapat bersama. Namun aku salah. Tubuh Sakura tiba-tiba saja bercahaya. Aku menatapnya bingung.
"Aoi, bulannya ...." Aku menoleh ke arah jendela. Bulan purnama. Jangan-jangan ....
"Sepertinya langit tidak ingin kita bersama ...," ujarku pahit. Sakura menggelengkan kepalanya. Dia mencengkram bajuku erat.
"Aku, tidak ingin berpisah!" teriaknya. Tubuh Sakura mulai terlihat menghilang. Wajahnya di basahi air mata. "Aku ...mencintaimu, Aoi"
Dalam hitungan detik, Sakura menghilang dari pandanganku.
***
Aku menatap ke arah taman, tempat pertama kali kami bertemu. Semuanya terasa seperti mimpi.
"Aoi ...." Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Rasanya aku seperti mendengar suara Sakura.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu berjalan meninggalkan taman.
TAMAT
SEBUAH PILIHAN
Rismawati Irliani
Thriller
Kau terduduk di tepi pantai. Diwarnai sinar matahari yang kejinggaan. Menghiasi lagit sore. Kau buang tatapanmu jauh ke seberang lautan sana. Menembus lengkungan bumi pembatas. Sedang seseorang di sampingmu memandangimu dari tadi. Kau tak menghiraukannya, bahkan kala rambut panjangnya beterbangan ke tubuhmu pun kau tak merasa. Kau sedang hanyut dalam kecamuk pikiran, kau sedang dalam masalah.
"Sampai kapan kau diam begini Dian?" tegurnya padamu.
"Aku lelah, kau tahu itu. Bukan kau saja yang merasakan beban ini. Ingat, masih ada aku." ujarnya lagi.
Ia kemudian berubah sepertimu. Membuang wajah ke arah lautan yang kini telah berubah warna, lautan jingga. Sekarang terbalik, kau yang seperti dia tadi. Kau memandanginya. Seakan kalian tak ingin saling menatap. Ada apakah?
"Aku tahu kau juga sakit akan hal ini. Orang tua kita tak menyetujui hubungan ini. Mereka saling membenci karena masa lalu mereka yang berpautan itu."
"Lantas, kita harus berdiam dan pasrah dijodohkan?" sahutnya setengah berteriak. "pengecut. Kau tak ingat berapa lama kita sudah menjalin hubungan ini hah? 15 tahun bukan hal yang mudah bagiku. Ini sia-sia."
Kau terdiam, dalam hati kau mengakui bahwa kau memang takut untuk berontak pada orang tuamu. Kau mengakui bahwa kau memang pengecut. Namun kau juga perih atas ucapannya, kau tak ingin kehilangan dia. Kau sangat mencintainya.
"Tolonglah kau jangan kasar padaku, Dea!" pintamu dengan ketus.
"Oh Tuhan, sekarang kau pikirkan nasib perutku ini! Aku hampir gila." Ia berdiri menjauhimu.
Kau masih duduk memandangi tubuhnya. Kau menyelidik, benarkah ia hamil, pikirmu.
"Jangan bergurau Dea, saat seperti ini kau malah mengatakan itu!" Kau marah, kau bangun dan menarik tangannya yang hendak menjauh.
"Lepas! Ia aku hamil, ini anakmu. Lupakah dengan malam valentine beberapa bulan lalu?" Ia berbalik menatapmu buas. "sepertinya kau benar-benar lupa akan janjimu padaku malam itu."
Kau terdiam lagi. Kau mengingat sesuatu. Dan sekarang kau ingat, kau berjanji padanya akan menikahinya. Kau membuatnya yakin bahwa kau akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Toh katamu, kau akan menikahinya jua. Tapi saat itu kau tak tahu bahwa kerumitan akan datang di hubunganmu. Orang tuamu belum tahu saat itu siapa orang tua kekasihmu. Acara lamaran itu gagal karena kekasihmu adalah anak dari orang yang menyebabkan perusahaan ayahmu bangkrut.
"Kau serius," kau mengguncang tubuhnya.
Sementara, ia berontak ingin kau melepaskannya. Ia menangis. Kau melepaskan tubuhnya. Ia terduduk.
Kau berteriak pada langit yang mulai gelap itu. Ini sama gelapnya dengan pikiranmu sekarang. Kau pusing.
"Aaaaaaarrrrrrhhhhhhh,,," teriakmu.
"Berhentilah kau berteriak. Menambah kacau saja." bentaknya.
Ia berdiri menghampirimu.
"Sekarang kau pilih, kita pergi dari rumah atau aku gugurkan anak ini dengan resiko nyawaku juga akan hilang. Sebab aku akan membunuh diriku. Bisa juga dirimu." ucapnya penuh amarah.
Kau masih berdiri dalam kebingungan. Ya, kau benar-benar bingung. Kau berpikir sangat jauh sekarang. Beda dengan malam itu, kau sedang dikuasai nafsu. Kau takut kau akan kelaparan nanti. Kau bingung jika pergi dari rumah kau akan tinggal di mana. Kau juga bingung anak itu nanti jadi apa. Kau ketakutan akan hidupmu yang semakin suram kelak.
"Bagaimana caranya kita kawin lari?" tanyamu keras. Membuat beberapa turis yang kebetulan melewatimu menoleh. Mereka berpikir pasti kau telah menghamili gadis yang ada di sampingmu. Namun itu benar, tak luput tebakan mereka. Seandainya lotre, mereka pasti telah meraup banyak uang.
"Kenapa aku yang harus memikirkan?" teriaknya.
"Ini tentang kita sayang!" balasmu.
"Kita? Tidak, kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Aku sudah lelah dengan perut ini. Hasil dari janjimu malam itu."
Kalian saling menatap. Kini tanpa bicara. Entah hanya bicara lewat isyarat sekarang, namun ia segera mengalihkan tatapannya menjauhimu.
***
Langit mulai gelap seutuhnya. Hari sudah malam, namun kau masih saja di sana dengannya. Masalahmu belum habis walau malam telah datang. Rupanya ia tak membawa serta masalahmu.
"Aku ingin pulang, antarkan aku." pintanya. Ia mengagetkanmu.
"Pulang?" sahutmu. Kau lalu tersenyum ketus. "masalah kita belum selesai Dea. Kita harus mencari jalan malam ini juga. Kau mau perutmu semakin menggelembung, hah?" ancammu.
"Terserah," sahutnya.
Kau diam lagi. Sedikit sesalmu membentaknya dari tadi. Tapi kau enggan mengaku bahwa kau yang salah. Kau malu jika kau harus terlihat lemah di depannya.
"Cepatlah," pintanya. "aku akan pulang sendiri jika kau tak mau, " ia balik mengancammu.
Kau akhirnya mengalah. Kau takut juga kalau ia meninggalkanmu.
"Iya sayang, tapi sebentar," ujarmu tiba-tiba lembut.
"Drama apalagi yang kau mainkan agar aku di sini tanpa kepastian?" tuduhnya.
Kepalamu terasa berat. Kau muak juga dengan ucapannya. Kau lagi-lagi hendak marah padanya. Namun saat kau menatap matanya, kau melihat bahwa ia hendak menangis. Cepat kau rengkuh tubuhnya dalam pelukanmu. Kini ia benar-benar menangis.
"Maafkan aku Dea, maafkan. Aku tak mengerti akan masalah kita. Aku terlalu pusing." jelasmu.
Kini ia melepaskan pelukanmu. Menyeka air matanya. "Lantas, kau akan mengabulkan permintaanku untuk kawin lari," tanyanya.
"Itu berat sayang. Nanti kita makan apa?"
"Itu masalahmu sebagai lelaki." jawabnya.
"Ini masalah kita," kau memegangi bahunya."plis sayang, lakukan pilihan kedua tapi jangan kau korbankan dirimu. Setelah itu kita pikirkan ide pertamamu." Kau membujuknya.
"Tidak bisa, kau pikir itu mudah?" Ia emosi lagi.
Kau yakin ini karena bayi itu ia gampang emosi. "Tidak rumit," katamu lagi. "ini hanya sebentar. Kau akan aman setelah itu. Aku pernah mendengarnya dari temanku."
Ia duduk. kakinya berselonjor di pantai. Hempasan ombak meraih-raih jari-jemarinya. Sementara kau, kau berdiri memandanginya.
"Kumohon sayang, ini agar beban di kepala kita berkurang."
Ia tetap diam, kau gelisah memikirkan cara agar dia mau melakukannya. Kau pikir itulah jalan terbaik bagi masalahmu. Kau tak memikirkan bagaimana jika itu membahayakannya.
Sepersekian lamanya kalian terdiam dalam remang-remang cahaya bulan purnama. Kebetulan mungkin, kalian tidak harus bergelap-gelapan.
Ponselmu berdering, kau merogoh saku. Dia memandangimu penuh tanya. Kau sedikit bingung dan mengacak-acak rambutmu saat kau menatap layar ponsel itu. Ada rasa takut untukmu mengangkatnya.
"Siapa?" tanyanya curiga.
Kau diam, menggigit bibirmu. Wajahmu nampaknya sedang berpikir keras.
"Siapa, selingkuhanmu? Oh aku tahu, dia yang dijodohkan denganmu." tuduhnya padamu.
"Ini ayah," Suaramu meninggi, dia membuatmu jengkel. "bisakah kau berhenti menuduhku."
"Angkatlah, kau takut? Kau memang pengecut."
Kau tertantang. Ponselmu berdering lagi untuk kedua kalinya.
"Iyaa Yah, maaf ga dengar." ujarmu keras-keras agar tak kalah dengan suara ombak dan angin yang berdesir.
"Kau di mana?" Suara dari ponselmu terus bertanya.
"Aku sedang di pantai, aku pulang malam." balasmu agak ragu.
"Pulanglah cepat, Ranti ada di sini."
Belum kau menjawab. Dia telah merebut ponselmu dan mematikannya. Ia gerah mendengar nama Ranti.
"Kenapa kau matikan?" tanyamu.
"Benar dugaanku. Kau telah setuju dengan orang tuamu. Lalu bagaimana aku, ini anakmu."
Ia berteriak memarahimu.
"Aku mencintaimu, percayalah sayang." rayumu agar ia menyerahkan ponselmu.
"Tidak, kau tak mencintaiku. Aku baru tahu kau lelaki pengecut."
Ia melempar ponselmu ke laut.
"Deaaaaaa," teriakmu.
"Sekarang kita pergi, aku ingin bahagia denganmu tanpa mereka, tanpa wanita gila itu."
Namun kau sangat emosi sekarang. Mungkin setan-setan sudah memenuhi kepalamu. Kau lansung mencekik lehernya. Ia meronta-ronta.
"Dian, te-ganya ka...au." ujarnya memegangi tanganmu yang masih di lehernya.
Kau seperti bukan lagi manusia sekarang. Kau buas, setan sudah meracuni pikiranmu.
Rupanya ia juga sangat kuat untuk menendang tubuhmu. Tanganmu terlepas. Kau terjungkal, terhuyung kesakitan. Yang ditendangnya adalah wilayah sensitifmu.
Ia juga penuh emosi sekarang.
"Mati kau!"
Ia memukul kepalamu dengan batu. Berkali-kali. Mencekik lehermu.
"Aku puas! Hahaha."
Ia terus tertawa, namun juga menangis. Ia menarikmu ke laut, memelukmu. Hingga kalian terbawa ombak menuju peristirahatan terakhir.
***
Matahari kembali muncul, laut kembali membiru. Orang-orang ada yang berlarian, ada yang duduk bermesraan di pinggir pantai. Tiba-tiba seseorang berteriak, dan semua yang ada di situ menatap ke arahnya.
"Ada mayaaaaatttt."
Kau di bawa ombak lagi ke pantai itu, mengegerkan para turis yang sedang berjemur. Matamu melotot, kaku. Sementara dia, seekor hiu telah memangsanya.
***
Kabar kematianmu telah tersebar di seluruh berita televisi di kotamu.
Mayatmu telah di bawa ke rumah sakit terdekat. Kini kau telah dimasukkan ke dalam kotak sempit. Ini membuatmu sesak, tapi kau tak bisa apa-apa.
Di sampingmu seorang gadis menangis. Bukan dia yang membunuhmu, gadis yang dijodohkan denganmu. Tampak juga kedua orang tuamu menangisimu. Mata mereka merah.
DBAAAAK! Seseorang datang memukul pintu dengan keras. Dia ayah kekasihmu.
"Di mana kalian sembunyikan anakku," teriaknya.
Para polisi segera membawanya.
Kau terpaku menatap mereka dari sudut ruangan rumah sakit itu.
"Ayo, sekarang kita pergi!" Kekasihmu datang, menarik tanganmu.
"Ke mana?" tanyamu.
"Ke alam kita, ini bukan tempat kita lagi, kita akan tenang merawat bayi kita di sana." jelasnya.
Ia tak lagi memarahimu. Sikapnya kembali lembut. Tak seperti malam itu saat kau dan dia dibakar emosi.
TAMAT
"Sampai kapan kau diam begini Dian?" tegurnya padamu.
"Aku lelah, kau tahu itu. Bukan kau saja yang merasakan beban ini. Ingat, masih ada aku." ujarnya lagi.
Ia kemudian berubah sepertimu. Membuang wajah ke arah lautan yang kini telah berubah warna, lautan jingga. Sekarang terbalik, kau yang seperti dia tadi. Kau memandanginya. Seakan kalian tak ingin saling menatap. Ada apakah?
"Aku tahu kau juga sakit akan hal ini. Orang tua kita tak menyetujui hubungan ini. Mereka saling membenci karena masa lalu mereka yang berpautan itu."
"Lantas, kita harus berdiam dan pasrah dijodohkan?" sahutnya setengah berteriak. "pengecut. Kau tak ingat berapa lama kita sudah menjalin hubungan ini hah? 15 tahun bukan hal yang mudah bagiku. Ini sia-sia."
Kau terdiam, dalam hati kau mengakui bahwa kau memang takut untuk berontak pada orang tuamu. Kau mengakui bahwa kau memang pengecut. Namun kau juga perih atas ucapannya, kau tak ingin kehilangan dia. Kau sangat mencintainya.
"Tolonglah kau jangan kasar padaku, Dea!" pintamu dengan ketus.
"Oh Tuhan, sekarang kau pikirkan nasib perutku ini! Aku hampir gila." Ia berdiri menjauhimu.
Kau masih duduk memandangi tubuhnya. Kau menyelidik, benarkah ia hamil, pikirmu.
"Jangan bergurau Dea, saat seperti ini kau malah mengatakan itu!" Kau marah, kau bangun dan menarik tangannya yang hendak menjauh.
"Lepas! Ia aku hamil, ini anakmu. Lupakah dengan malam valentine beberapa bulan lalu?" Ia berbalik menatapmu buas. "sepertinya kau benar-benar lupa akan janjimu padaku malam itu."
Kau terdiam lagi. Kau mengingat sesuatu. Dan sekarang kau ingat, kau berjanji padanya akan menikahinya. Kau membuatnya yakin bahwa kau akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Toh katamu, kau akan menikahinya jua. Tapi saat itu kau tak tahu bahwa kerumitan akan datang di hubunganmu. Orang tuamu belum tahu saat itu siapa orang tua kekasihmu. Acara lamaran itu gagal karena kekasihmu adalah anak dari orang yang menyebabkan perusahaan ayahmu bangkrut.
"Kau serius," kau mengguncang tubuhnya.
Sementara, ia berontak ingin kau melepaskannya. Ia menangis. Kau melepaskan tubuhnya. Ia terduduk.
Kau berteriak pada langit yang mulai gelap itu. Ini sama gelapnya dengan pikiranmu sekarang. Kau pusing.
"Aaaaaaarrrrrrhhhhhhh,,," teriakmu.
"Berhentilah kau berteriak. Menambah kacau saja." bentaknya.
Ia berdiri menghampirimu.
"Sekarang kau pilih, kita pergi dari rumah atau aku gugurkan anak ini dengan resiko nyawaku juga akan hilang. Sebab aku akan membunuh diriku. Bisa juga dirimu." ucapnya penuh amarah.
Kau masih berdiri dalam kebingungan. Ya, kau benar-benar bingung. Kau berpikir sangat jauh sekarang. Beda dengan malam itu, kau sedang dikuasai nafsu. Kau takut kau akan kelaparan nanti. Kau bingung jika pergi dari rumah kau akan tinggal di mana. Kau juga bingung anak itu nanti jadi apa. Kau ketakutan akan hidupmu yang semakin suram kelak.
"Bagaimana caranya kita kawin lari?" tanyamu keras. Membuat beberapa turis yang kebetulan melewatimu menoleh. Mereka berpikir pasti kau telah menghamili gadis yang ada di sampingmu. Namun itu benar, tak luput tebakan mereka. Seandainya lotre, mereka pasti telah meraup banyak uang.
"Kenapa aku yang harus memikirkan?" teriaknya.
"Ini tentang kita sayang!" balasmu.
"Kita? Tidak, kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Aku sudah lelah dengan perut ini. Hasil dari janjimu malam itu."
Kalian saling menatap. Kini tanpa bicara. Entah hanya bicara lewat isyarat sekarang, namun ia segera mengalihkan tatapannya menjauhimu.
***
Langit mulai gelap seutuhnya. Hari sudah malam, namun kau masih saja di sana dengannya. Masalahmu belum habis walau malam telah datang. Rupanya ia tak membawa serta masalahmu.
"Aku ingin pulang, antarkan aku." pintanya. Ia mengagetkanmu.
"Pulang?" sahutmu. Kau lalu tersenyum ketus. "masalah kita belum selesai Dea. Kita harus mencari jalan malam ini juga. Kau mau perutmu semakin menggelembung, hah?" ancammu.
"Terserah," sahutnya.
Kau diam lagi. Sedikit sesalmu membentaknya dari tadi. Tapi kau enggan mengaku bahwa kau yang salah. Kau malu jika kau harus terlihat lemah di depannya.
"Cepatlah," pintanya. "aku akan pulang sendiri jika kau tak mau, " ia balik mengancammu.
Kau akhirnya mengalah. Kau takut juga kalau ia meninggalkanmu.
"Iya sayang, tapi sebentar," ujarmu tiba-tiba lembut.
"Drama apalagi yang kau mainkan agar aku di sini tanpa kepastian?" tuduhnya.
Kepalamu terasa berat. Kau muak juga dengan ucapannya. Kau lagi-lagi hendak marah padanya. Namun saat kau menatap matanya, kau melihat bahwa ia hendak menangis. Cepat kau rengkuh tubuhnya dalam pelukanmu. Kini ia benar-benar menangis.
"Maafkan aku Dea, maafkan. Aku tak mengerti akan masalah kita. Aku terlalu pusing." jelasmu.
Kini ia melepaskan pelukanmu. Menyeka air matanya. "Lantas, kau akan mengabulkan permintaanku untuk kawin lari," tanyanya.
"Itu berat sayang. Nanti kita makan apa?"
"Itu masalahmu sebagai lelaki." jawabnya.
"Ini masalah kita," kau memegangi bahunya."plis sayang, lakukan pilihan kedua tapi jangan kau korbankan dirimu. Setelah itu kita pikirkan ide pertamamu." Kau membujuknya.
"Tidak bisa, kau pikir itu mudah?" Ia emosi lagi.
Kau yakin ini karena bayi itu ia gampang emosi. "Tidak rumit," katamu lagi. "ini hanya sebentar. Kau akan aman setelah itu. Aku pernah mendengarnya dari temanku."
Ia duduk. kakinya berselonjor di pantai. Hempasan ombak meraih-raih jari-jemarinya. Sementara kau, kau berdiri memandanginya.
"Kumohon sayang, ini agar beban di kepala kita berkurang."
Ia tetap diam, kau gelisah memikirkan cara agar dia mau melakukannya. Kau pikir itulah jalan terbaik bagi masalahmu. Kau tak memikirkan bagaimana jika itu membahayakannya.
Sepersekian lamanya kalian terdiam dalam remang-remang cahaya bulan purnama. Kebetulan mungkin, kalian tidak harus bergelap-gelapan.
Ponselmu berdering, kau merogoh saku. Dia memandangimu penuh tanya. Kau sedikit bingung dan mengacak-acak rambutmu saat kau menatap layar ponsel itu. Ada rasa takut untukmu mengangkatnya.
"Siapa?" tanyanya curiga.
Kau diam, menggigit bibirmu. Wajahmu nampaknya sedang berpikir keras.
"Siapa, selingkuhanmu? Oh aku tahu, dia yang dijodohkan denganmu." tuduhnya padamu.
"Ini ayah," Suaramu meninggi, dia membuatmu jengkel. "bisakah kau berhenti menuduhku."
"Angkatlah, kau takut? Kau memang pengecut."
Kau tertantang. Ponselmu berdering lagi untuk kedua kalinya.
"Iyaa Yah, maaf ga dengar." ujarmu keras-keras agar tak kalah dengan suara ombak dan angin yang berdesir.
"Kau di mana?" Suara dari ponselmu terus bertanya.
"Aku sedang di pantai, aku pulang malam." balasmu agak ragu.
"Pulanglah cepat, Ranti ada di sini."
Belum kau menjawab. Dia telah merebut ponselmu dan mematikannya. Ia gerah mendengar nama Ranti.
"Kenapa kau matikan?" tanyamu.
"Benar dugaanku. Kau telah setuju dengan orang tuamu. Lalu bagaimana aku, ini anakmu."
Ia berteriak memarahimu.
"Aku mencintaimu, percayalah sayang." rayumu agar ia menyerahkan ponselmu.
"Tidak, kau tak mencintaiku. Aku baru tahu kau lelaki pengecut."
Ia melempar ponselmu ke laut.
"Deaaaaaa," teriakmu.
"Sekarang kita pergi, aku ingin bahagia denganmu tanpa mereka, tanpa wanita gila itu."
Namun kau sangat emosi sekarang. Mungkin setan-setan sudah memenuhi kepalamu. Kau lansung mencekik lehernya. Ia meronta-ronta.
"Dian, te-ganya ka...au." ujarnya memegangi tanganmu yang masih di lehernya.
Kau seperti bukan lagi manusia sekarang. Kau buas, setan sudah meracuni pikiranmu.
Rupanya ia juga sangat kuat untuk menendang tubuhmu. Tanganmu terlepas. Kau terjungkal, terhuyung kesakitan. Yang ditendangnya adalah wilayah sensitifmu.
Ia juga penuh emosi sekarang.
"Mati kau!"
Ia memukul kepalamu dengan batu. Berkali-kali. Mencekik lehermu.
"Aku puas! Hahaha."
Ia terus tertawa, namun juga menangis. Ia menarikmu ke laut, memelukmu. Hingga kalian terbawa ombak menuju peristirahatan terakhir.
***
Matahari kembali muncul, laut kembali membiru. Orang-orang ada yang berlarian, ada yang duduk bermesraan di pinggir pantai. Tiba-tiba seseorang berteriak, dan semua yang ada di situ menatap ke arahnya.
"Ada mayaaaaatttt."
Kau di bawa ombak lagi ke pantai itu, mengegerkan para turis yang sedang berjemur. Matamu melotot, kaku. Sementara dia, seekor hiu telah memangsanya.
***
Kabar kematianmu telah tersebar di seluruh berita televisi di kotamu.
Mayatmu telah di bawa ke rumah sakit terdekat. Kini kau telah dimasukkan ke dalam kotak sempit. Ini membuatmu sesak, tapi kau tak bisa apa-apa.
Di sampingmu seorang gadis menangis. Bukan dia yang membunuhmu, gadis yang dijodohkan denganmu. Tampak juga kedua orang tuamu menangisimu. Mata mereka merah.
DBAAAAK! Seseorang datang memukul pintu dengan keras. Dia ayah kekasihmu.
"Di mana kalian sembunyikan anakku," teriaknya.
Para polisi segera membawanya.
Kau terpaku menatap mereka dari sudut ruangan rumah sakit itu.
"Ayo, sekarang kita pergi!" Kekasihmu datang, menarik tanganmu.
"Ke mana?" tanyamu.
"Ke alam kita, ini bukan tempat kita lagi, kita akan tenang merawat bayi kita di sana." jelasnya.
Ia tak lagi memarahimu. Sikapnya kembali lembut. Tak seperti malam itu saat kau dan dia dibakar emosi.
TAMAT
KEJUTAN SAMPAI MATI
Aslan Yakuza
Thriller
Sudah tiga tahun aku menjalin hubungan dengan Alun. Namun, baru kali ini ia mengajakku berlibur ke salah satu pulau yang tidak terlalu banyak pengunjung. Aku sedikit bingung, kenapa Alun mengajakku ke pulau yang jarang didatangi pengunjung. Tapi aku tidak ingin mengecewakan Alun, kuturuti saja apa yang sudah diminta olehnya, daripada kami bertengkar dan batal menikah.
Jumat sore kami berkumpul di rumah, setelah mempersiapkan barang yang akan dibawa. Sesuai permintaan Alun--Budi, Gunawan dan Rihana--turut serta dalam liburan yang akan dimulai pada pagi Sabtu mendatang. Tak terlalu banyak percakapan, kami pun berangkat menuju pulau yang sudah ditentukan.
Dalam perjalan menuju pelabuhan, kami berlima bersorak ria mendengarkan musik dan berkelakar di dalam mobil. Ketiga sepupuku itu--Budi, Gunawan dan Rihana--memang sangat dekat denganku, juga Alun. Kami kerap bersama sejak SMA, hingga bekerja di masing-masing perusahaan yang berbeda. Kini, kesempatan itu terulang lagi. Kami akan merayakan malam valentine di pulau yang terpencil. Tentu saja moment itu akan indah dikenang selamanya.
***
Sampailah kami di sebuah kapal sewaan yang akan mengantarkan ke pulau yang jarang dijamah manusia. Namun, pulau itu juga didiami oleh manusia. Rata-rata profesi mereka yang tinggal di sana sebagai nelayan yang pulang dalam hitungan bulan. Kami tidak terlalu memedulikan, kami hanya berharap liburan kali ini tidak mengecewakan.
Tibalah kami di pulau yang terpencil itu setelah menempuh perjalanan selama enam jam. Cukup melelahkan, apalagi kami harus berjalan menuju perkampungan dikarenakan kapal yang kami sewa tidak bisa membawa kendaraan yang kami punya. Sialnya, pemukiman penduduk cukup jauh dari tepi pantai, tempat di mana kami diturunkan. Aku merasa sangat kelelahan, namun masih butuh perjuangan sebelum sampai ke pemukiman. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan berjalan seiringan dan mengeluarkan senter sebagai penerang agar dapat melihat jalan. Sungguh melelahkan, melewati jalan setapak yang agak menanjak, ditambah rumput liar yang tumbuh menjalar cukup menyulitkan perjalanan.
"Apa kita tidak salah jalan?" Aku mulai kesal karena medan yang cukup menyulitkan. Kupertanyakan langsung kepada pemandu yang turut dalam perjalanan itu.
"Tidak Tuan! Inilah jalan menuju penginapan," jawabnya sambil memanggutkan kepala.
"Apa penginapannya jauh dari perkampungan?" Gunawan turut mempertanyakan.
"Ya, pulau ini hanya didiami beberapa kepala keluarga saja. Kalau jalan menuju perkampungan, sekitar seratus meter di sebelah kanan," balas lelaki tua yang memakai belangkon dan bertugas memandu kami di pulau itu.
"O, jadi begitu?" Budi menimpali.
"Tepat sekali!" Alun menyikapi.
"Kau pernah ke sini?" perempuan cantik dengan potongan rambut sebahu bertanya kepada perempuan cantik berkulit putih, dengan rambut panjang yang tergerai di sebelahnya--Alun.
"Tentu saja. Tapi, itu sudah sangat lama," jawab Alun.
"Tuan Niko! Sebentar lagi kita sampai. Itu penginapannya sudah terlihat," ujar si pemandu, yang mengaku bernama Danu.
Tidak ada yang menjawab, kecuali langkah yang semakin dipercepat. Rupanya bukan aku saja yang merasa lelah, tapi mereka semua berharap dapat beristirahat.
Di depan teras rumah kayu yang terlihat tak terurus, kami berlima termenung. Sementara Pak Danu membuka pintu.
"Silahkan masuk! Maaf, di sini tidak ada lampu. Tapi tenang! Di dalam ada lentera yang bisa digunakan sebagai penerang," jelas Pak Danu.
Kami pun segera masuk, sementara Pak Danu sibuk menyalakan satu per satu lentera yang sudah tersedia di sana. Mungkin karena kelelahan, kami semua dengan cepat tertidur pulas.
***
Suasana pagi pulau itu begitu sejuk, berbeda jauh dengan suasana kota tempat di mana aku tinggal dan bekerja. Rasanya aku tidak ingin pulang, tapi kami hanya liburan dan harus kembali dalam waktu beberapa hari. Pemandangannya cukup indah, dikarenakan rumah tempat kami menginap berada di atas bukit, membuat mata dapat melihat luasnya pantai dan bebatuan dari atas sana.
"Hei ... ini curang! Kenapa aku ditinggalkan?" gerutuku, setelah melihat dari kejauhan keceriaan tiga orang di tepi pantai. Tanpa buang-buang waktu aku pun menyusul mereka yang sudah lebih dulu.
Sesampainya di pantai, aku tidak melihat calon istriku--Alun. "Mana Alun?" tanyaku kepada sepupu-sepupuku yang asyik foto-foto di bebatuan besar tepian pantai.
"Bukankah ia masih bersamamu?" tanggap Budi, menolehku sekilas.
Aku sedikit bingung, perasaan sebelum ke luar aku sempat memeriksa rumah dan tidak kutemukan siapapun di sana.
"Jangan bercanda Bud!"
"Serius. Ngapain juga gue bohongin lu! Kalau nggak percaya, tanya saja ke mereka!"
Rihana dan Gunawan mengangguk serempak. Aku tak bertanya lagi, dan memutuskan kembali untuk mencari Alun yang tidak kujumpai di pagi ini. Namun, saat aku baru menaiki bukit, Pak Danu muncul secara tiba-tiba. Aku terkejut dan mundur beberapa langkah, sembari berkata. "Pak Danu! Bikin kaget saja."
"Maaf, Tuan!" ucapnya, sambil membungkuk.
"Tidak apa Pak, lupakan saja! O, iya. Bapak liat Alun?"
"Tidak Tuan. Memangnya Non Alun tidak bersama Tuan atau mereka yang masih foto-foto di sana?"
Aku menggeleng pelan.
"Aduh ... gawat!" ungkap Pak Danu.
Aku jadi heran. "Gawat kenapa Pak?"
"Di sini ada pantangannya Tuan, tidak boleh meninggalkan teman sendirian, apalagi yang ditinggal itu perempuan," jelasnya.
Aku terbelalak dan terdiam.
Pak Danu melanjutkan. "Menurut kabar yang pernah saya dengar, pulau ini menyimpan cerita seram. Setiap tahun akan memakan korban. Menurut cerita, sosok kejam itu memakai topeng dan jubah hitam. Ia tidak segan-segan menghabisi korbannya dengan sebilah parang yang cukup panjang dan tajam."
Aku meneguk ludah. Rasa takut dan khawatir menyerang seketika. Tapi aku masih ingin bertanya. "Apa sosok itu adalah manusia?"
"Entahlah. Belum ada yang bisa menemukannya, bahkan penduduk di sini pun enggan bercerita tentang sosok berjubah itu, mereka takut kalau mereka akan menjadi korban kalau bercerita banyak tentang sosok tersebut," jelas Pak Danu.
Aku jadi penasaran, tetapi kekhawatiranku membuat aku tidak ingin mencaritahu lebih banyak tentang sosok itu. Yang terpikir olehku saat itu adalah mencari Alun yang tak tahu di mana keberadaannya.
"Ayo Pak! Kita harus segara temukan Alun. Aku takut terjadi apa-apa kepadanya," ucapku, mengajak Pak Danu bergegas mencari Alun.
Namun saat aku dan Pak Danu tiba di rumah, mata kami berdua terbelalak setelah melihat banyaknya darah dan rambut cukup panjang berceceran di lantai.
"Apa yang terjadi?"
"Non Alun Tuan ...," jawab Pak Danu lirih.
"Maksud Bapak dia ...?!"
"Ya. Dia sudah jadi korban sosok misterius itu."
Aku terisak, dan langsung memeriksa seluruh kamar di sana. Namun Alun tidak kutemukan kecuali bercak-bercak darah yang masih segar.
"Alun ...!!" aku histeris di sana.
Pak Danu diam saja, ia hanya tertunduk tanpa melihatku. Namun, tiba-tiba telingaku menagkap suara jeritan seorang perempuan.
"Alun ...," ucapku lirih, dan segera berlari menuruni bukit lagi.
***
"Apa yang terjadi?" tanyaku kepada dua sepupuku, Budi dan Gunawan yang terisak melihat jasad Rihana yang lehernya terus mengucurkan darah, dan tanpa memiliki kepala.
Belum ada jawaban dari mereka, malah tangisan yang makin menjadi terdengar di telinga.
"Jawab! Jangan diam saja!" bentakku kepada mereka.
Dengan tersedu-sedan Budi pun menjawab. "Rihana tadi mau buang air kecil. Beberapa saat kemudian, kami pun dikejutkan dengan suara teriakan."
"Apa kalian sempat melihat seseorang?" Pak Danu turut menanyakan.
Budi dan Gunawan menggeleng enggan.
"Lihat!" ujarku, menunjuk tetesan darah di rumput juga jejak yang membuat rumput liar menggelepar.
"Sepertinya baru saja ada orang yang lewat sini. Dan tetesan darah ini menunjukkan bahwa orang itu membawa kepala Rihana. Itu artinya, dia manusia bukan setan atau sejenisnya," ungkapku, mengambil kesimpulan.
"Benar juga! Bagaimana kalau kita ikuti saja jejak ini?" tanggap Pak Danu.
"Ide bagus. Sedikitpun tidak akan kuberikan ampun kepada siapa saja yang telah membunuh orang-orang yang aku sayang!"
Kami pun memutuskan untuk mengikuti jejak itu. Sementara Budi dan Gunawan, memilih tinggal dan membereskan jasad Rihana. Sayangnya, setelah mengikuti jejak itu cukup jauh kami tidak menemukan apa-apa, bahkan kami tak lagi melihat tetesan darah.
"Sial!" gerutuku kesal.
Pak Danu mengajakku kembali, sebari terus mengatakan, "sabar!".
***
Saat tiba di rumah aku benar-benar dikejutkan denga penemuan tiga mayat tergeletak berdekatan. Ketiga mayat itu adalah sepupuku, Gunawan, Budi dan Rihana. Jasad mereka tanpa kepala, namun pada tubuh Budi dan Gunawan penuh dengan luka bacokan.
"Ini tidak mungkin?!" ucapku, masih tak percaya akan peristiwa itu.
"Tuan, sebagiknya kita segera tinggalkan tempat ini!" Pak Danu langsung memberi inisiatif.
"Tapi Pak--"
"Tidak usah pikirkan jasad mereka. Kita pergi dulu dari sini dan lapor Polisi, biar mereka yang menangani kasus ini," potong Pak Danu.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku juga merasa ketakutan dan keselamatanku seolah terancam jika aku berlama-lama berada di pulau yang sudah merenggut nyawa ketiga sepupu dan kekasihku. Dengan berat hati aku mengikuti saran dari Pak Danu. Kami pun bergegas menuju kapal.
***
Hari semakin gelap, saat kami berada di tengah lautan. Aku masih gemetaran, mengingat jasad ketiga sepupuku yang kami tinggalkan. Di saat yang menegangkan, mesin kapal yang dikemudian Pak Danu mendadak mati.
"Ini kenapa lagi Pak?" tanyaku panik.
"Entahlah Tuan. Baru kali ini mesin kapal mengalami masalah," jawabnya, tak kalah panik.
Namun tiba-tiba, sosok berjubah hitam muncul setelah membuka pintu ruang kemudi, tempat di mana aku dan Pak Danu berada.
"Kalian siapa?!" aku benar-benar panik dan takut, melihat sosok berjubah hitam membawa sebilah parang berada dalam satu ruangan.
Pak Danu diam saja, kulihat ia malah tersenyum sinis kepadaku. Bukan itu saja, bahkan tatapan matanya begitu tajam mengambarkan seolah aku ini adalah musuhnya.
"Pak Danu ...! Adakah sesuatu yang bisa membantu?"
Tidak ada jawaban darinya. Tapi tiba-tiba kurasakan sesuatu menghantam pundakku. Aku tersungkur, tidak lama kemudian sosok berjubah hitam itu membacok bagian pahaku. Seketika itu pula jeritanku pecah. Aku merintih, menahan sakit luka bacokan di pahaku. Aku menoleh Pak Danu, kulihat ia tertawa senang sambil memegang sebuah pipa besi cukup panjang.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Balas dendam!" seseorang berjubah hitam tiba-tiba muncul, dan ia membawa tiga bungkus plastik transparan berisikan kepala tiga sepupuku.
"Sebenarnya siapa kalian?!" teriakku, melihat kini ada dua sosok berjubah hitam di hadapan.
Mereka tertawa, begitu juga Pak Danu. Aku bingung, sebenarnya permainan apa yang sudah mereka jalankan?
Perlahan, mereka membuka penutup kepala secara bersama. Aku ternganga, melihat salah satunya adalah wanita. Mereka melanjutkan membuka topeng yang menyembunyikan wajah mereka sebenarnya.
"Apa ...?! Alun ...?" aku benar-benar tak menyangka kalau satu di antara sosok berjubah hitam itu adalah Alun, kekasihku sendiri. "Kenapa kau lakukan ini?" lanjutku menanyakan.
"Tomi! Lemparkan kepala-kepala pembunuh-pembunuh itu kepada otak dari aksi mereka dulu!" perintah Alun.
Laki-laki yang juga berperan sebagai sosok berjubah itu melemparkan tiga kepala manusia yang dipegangnya ke arahku. Aku tak bisa bergerak, tapi ingatanku mulai terbayang akan masa lalu. Tomi ..., Tomi ..., Tomi ..., nama itu sudah tidak asing lagi, pikirku saat itu.
"Kau masih ingat aku?!" tiba-tiba lelaki itu menunjukkan wajahnya. Aku terkejut melihat bekas luka bakar hampir di seluruh wajahnya. Sorot matanya membawa aku kembali pada masa lalu.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah mati?!"
"Hahahaha! Aku tidak akan mati sebelum aku menghabisi manusia kejam yang sudah membunuh orangtua Alun!"
Sesaat aku terdiam. "Tapi, saat itu aku benar-benar tidak mengetahui kalau ibu Alun juga berada di sana!" jawabku.
"Hahaha! Akhirnya kau mengakuinya. Dasar b*jing*n!" Alun mengayunkan parangnya ke arah dadaku. Aku terguling bersimbah darah.
"Apa kau tahu ... akibat perbuatanmu anak dan istriku juga menjadi korban dalam peristiwa itu? Kau berniat menghabisi laki-laki itu dengan cara membakar penginapan tempat di mana dia berada. Kau dan ketiga sepupumu itu tidak memikirkan ada orang lain selain dia di sana. Kalian tidak pedulikan itu. Kalian tetap membakar penginapan tersebut dengan niat membunuh laki-laki itu. Tapi, apa? Dia selamat! Sementara anak dan istriku juga orangtua wanita yang kau kejar-kejar kala itu turut menjadi korbannya! Dan sekarang kau sudah masuk dalam permainan yang sudah lama kami rancang. Dengan penuh kesabaran Alun menjalin hubungan denganmu, dan cerita karangan tentang sosok berjubah itu sudah mengalihkan perhatianmu, sehingga Alun dan Tomi leluasa membunuh ketiga sepupumu. Kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Darah dan rambut yang bececeran di dalam rumah, semua itu adalah setingan, dan sekarang aku akan memberimu hadiah di malam kasih sayang!" jelas Pak Danu dan langsung memberikanku hadia pukulan keras tepat di kepala menggunakan pipa besi.
Aku mengerang, kepalaku pecah, darah mengucur membasahi wajah. Tetapi aku masih bisa bertanya. "Bagaimana kalian bisa mengatahuinya?"
"Aku melihatnya dengan mata kepala. Dan sekarang kau akan menerima balasannya! Terimalah kejutan sampai mati dariku ini!" jawab Aluna, dan langsung mengayunkan parangnya ke kepalaku berkali-kali, membabi buta, diikuti Tomi yang juga membacokku pada bagian dada. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Lambat laun rasa sakit itupun hilang bersamaan dengan pandanganku yang kian memudar. Samar-samar kulihat mereka tertawa senang.
TAMAT
Jumat sore kami berkumpul di rumah, setelah mempersiapkan barang yang akan dibawa. Sesuai permintaan Alun--Budi, Gunawan dan Rihana--turut serta dalam liburan yang akan dimulai pada pagi Sabtu mendatang. Tak terlalu banyak percakapan, kami pun berangkat menuju pulau yang sudah ditentukan.
Dalam perjalan menuju pelabuhan, kami berlima bersorak ria mendengarkan musik dan berkelakar di dalam mobil. Ketiga sepupuku itu--Budi, Gunawan dan Rihana--memang sangat dekat denganku, juga Alun. Kami kerap bersama sejak SMA, hingga bekerja di masing-masing perusahaan yang berbeda. Kini, kesempatan itu terulang lagi. Kami akan merayakan malam valentine di pulau yang terpencil. Tentu saja moment itu akan indah dikenang selamanya.
***
Sampailah kami di sebuah kapal sewaan yang akan mengantarkan ke pulau yang jarang dijamah manusia. Namun, pulau itu juga didiami oleh manusia. Rata-rata profesi mereka yang tinggal di sana sebagai nelayan yang pulang dalam hitungan bulan. Kami tidak terlalu memedulikan, kami hanya berharap liburan kali ini tidak mengecewakan.
Tibalah kami di pulau yang terpencil itu setelah menempuh perjalanan selama enam jam. Cukup melelahkan, apalagi kami harus berjalan menuju perkampungan dikarenakan kapal yang kami sewa tidak bisa membawa kendaraan yang kami punya. Sialnya, pemukiman penduduk cukup jauh dari tepi pantai, tempat di mana kami diturunkan. Aku merasa sangat kelelahan, namun masih butuh perjuangan sebelum sampai ke pemukiman. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan berjalan seiringan dan mengeluarkan senter sebagai penerang agar dapat melihat jalan. Sungguh melelahkan, melewati jalan setapak yang agak menanjak, ditambah rumput liar yang tumbuh menjalar cukup menyulitkan perjalanan.
"Apa kita tidak salah jalan?" Aku mulai kesal karena medan yang cukup menyulitkan. Kupertanyakan langsung kepada pemandu yang turut dalam perjalanan itu.
"Tidak Tuan! Inilah jalan menuju penginapan," jawabnya sambil memanggutkan kepala.
"Apa penginapannya jauh dari perkampungan?" Gunawan turut mempertanyakan.
"Ya, pulau ini hanya didiami beberapa kepala keluarga saja. Kalau jalan menuju perkampungan, sekitar seratus meter di sebelah kanan," balas lelaki tua yang memakai belangkon dan bertugas memandu kami di pulau itu.
"O, jadi begitu?" Budi menimpali.
"Tepat sekali!" Alun menyikapi.
"Kau pernah ke sini?" perempuan cantik dengan potongan rambut sebahu bertanya kepada perempuan cantik berkulit putih, dengan rambut panjang yang tergerai di sebelahnya--Alun.
"Tentu saja. Tapi, itu sudah sangat lama," jawab Alun.
"Tuan Niko! Sebentar lagi kita sampai. Itu penginapannya sudah terlihat," ujar si pemandu, yang mengaku bernama Danu.
Tidak ada yang menjawab, kecuali langkah yang semakin dipercepat. Rupanya bukan aku saja yang merasa lelah, tapi mereka semua berharap dapat beristirahat.
Di depan teras rumah kayu yang terlihat tak terurus, kami berlima termenung. Sementara Pak Danu membuka pintu.
"Silahkan masuk! Maaf, di sini tidak ada lampu. Tapi tenang! Di dalam ada lentera yang bisa digunakan sebagai penerang," jelas Pak Danu.
Kami pun segera masuk, sementara Pak Danu sibuk menyalakan satu per satu lentera yang sudah tersedia di sana. Mungkin karena kelelahan, kami semua dengan cepat tertidur pulas.
***
Suasana pagi pulau itu begitu sejuk, berbeda jauh dengan suasana kota tempat di mana aku tinggal dan bekerja. Rasanya aku tidak ingin pulang, tapi kami hanya liburan dan harus kembali dalam waktu beberapa hari. Pemandangannya cukup indah, dikarenakan rumah tempat kami menginap berada di atas bukit, membuat mata dapat melihat luasnya pantai dan bebatuan dari atas sana.
"Hei ... ini curang! Kenapa aku ditinggalkan?" gerutuku, setelah melihat dari kejauhan keceriaan tiga orang di tepi pantai. Tanpa buang-buang waktu aku pun menyusul mereka yang sudah lebih dulu.
Sesampainya di pantai, aku tidak melihat calon istriku--Alun. "Mana Alun?" tanyaku kepada sepupu-sepupuku yang asyik foto-foto di bebatuan besar tepian pantai.
"Bukankah ia masih bersamamu?" tanggap Budi, menolehku sekilas.
Aku sedikit bingung, perasaan sebelum ke luar aku sempat memeriksa rumah dan tidak kutemukan siapapun di sana.
"Jangan bercanda Bud!"
"Serius. Ngapain juga gue bohongin lu! Kalau nggak percaya, tanya saja ke mereka!"
Rihana dan Gunawan mengangguk serempak. Aku tak bertanya lagi, dan memutuskan kembali untuk mencari Alun yang tidak kujumpai di pagi ini. Namun, saat aku baru menaiki bukit, Pak Danu muncul secara tiba-tiba. Aku terkejut dan mundur beberapa langkah, sembari berkata. "Pak Danu! Bikin kaget saja."
"Maaf, Tuan!" ucapnya, sambil membungkuk.
"Tidak apa Pak, lupakan saja! O, iya. Bapak liat Alun?"
"Tidak Tuan. Memangnya Non Alun tidak bersama Tuan atau mereka yang masih foto-foto di sana?"
Aku menggeleng pelan.
"Aduh ... gawat!" ungkap Pak Danu.
Aku jadi heran. "Gawat kenapa Pak?"
"Di sini ada pantangannya Tuan, tidak boleh meninggalkan teman sendirian, apalagi yang ditinggal itu perempuan," jelasnya.
Aku terbelalak dan terdiam.
Pak Danu melanjutkan. "Menurut kabar yang pernah saya dengar, pulau ini menyimpan cerita seram. Setiap tahun akan memakan korban. Menurut cerita, sosok kejam itu memakai topeng dan jubah hitam. Ia tidak segan-segan menghabisi korbannya dengan sebilah parang yang cukup panjang dan tajam."
Aku meneguk ludah. Rasa takut dan khawatir menyerang seketika. Tapi aku masih ingin bertanya. "Apa sosok itu adalah manusia?"
"Entahlah. Belum ada yang bisa menemukannya, bahkan penduduk di sini pun enggan bercerita tentang sosok berjubah itu, mereka takut kalau mereka akan menjadi korban kalau bercerita banyak tentang sosok tersebut," jelas Pak Danu.
Aku jadi penasaran, tetapi kekhawatiranku membuat aku tidak ingin mencaritahu lebih banyak tentang sosok itu. Yang terpikir olehku saat itu adalah mencari Alun yang tak tahu di mana keberadaannya.
"Ayo Pak! Kita harus segara temukan Alun. Aku takut terjadi apa-apa kepadanya," ucapku, mengajak Pak Danu bergegas mencari Alun.
Namun saat aku dan Pak Danu tiba di rumah, mata kami berdua terbelalak setelah melihat banyaknya darah dan rambut cukup panjang berceceran di lantai.
"Apa yang terjadi?"
"Non Alun Tuan ...," jawab Pak Danu lirih.
"Maksud Bapak dia ...?!"
"Ya. Dia sudah jadi korban sosok misterius itu."
Aku terisak, dan langsung memeriksa seluruh kamar di sana. Namun Alun tidak kutemukan kecuali bercak-bercak darah yang masih segar.
"Alun ...!!" aku histeris di sana.
Pak Danu diam saja, ia hanya tertunduk tanpa melihatku. Namun, tiba-tiba telingaku menagkap suara jeritan seorang perempuan.
"Alun ...," ucapku lirih, dan segera berlari menuruni bukit lagi.
***
"Apa yang terjadi?" tanyaku kepada dua sepupuku, Budi dan Gunawan yang terisak melihat jasad Rihana yang lehernya terus mengucurkan darah, dan tanpa memiliki kepala.
Belum ada jawaban dari mereka, malah tangisan yang makin menjadi terdengar di telinga.
"Jawab! Jangan diam saja!" bentakku kepada mereka.
Dengan tersedu-sedan Budi pun menjawab. "Rihana tadi mau buang air kecil. Beberapa saat kemudian, kami pun dikejutkan dengan suara teriakan."
"Apa kalian sempat melihat seseorang?" Pak Danu turut menanyakan.
Budi dan Gunawan menggeleng enggan.
"Lihat!" ujarku, menunjuk tetesan darah di rumput juga jejak yang membuat rumput liar menggelepar.
"Sepertinya baru saja ada orang yang lewat sini. Dan tetesan darah ini menunjukkan bahwa orang itu membawa kepala Rihana. Itu artinya, dia manusia bukan setan atau sejenisnya," ungkapku, mengambil kesimpulan.
"Benar juga! Bagaimana kalau kita ikuti saja jejak ini?" tanggap Pak Danu.
"Ide bagus. Sedikitpun tidak akan kuberikan ampun kepada siapa saja yang telah membunuh orang-orang yang aku sayang!"
Kami pun memutuskan untuk mengikuti jejak itu. Sementara Budi dan Gunawan, memilih tinggal dan membereskan jasad Rihana. Sayangnya, setelah mengikuti jejak itu cukup jauh kami tidak menemukan apa-apa, bahkan kami tak lagi melihat tetesan darah.
"Sial!" gerutuku kesal.
Pak Danu mengajakku kembali, sebari terus mengatakan, "sabar!".
***
Saat tiba di rumah aku benar-benar dikejutkan denga penemuan tiga mayat tergeletak berdekatan. Ketiga mayat itu adalah sepupuku, Gunawan, Budi dan Rihana. Jasad mereka tanpa kepala, namun pada tubuh Budi dan Gunawan penuh dengan luka bacokan.
"Ini tidak mungkin?!" ucapku, masih tak percaya akan peristiwa itu.
"Tuan, sebagiknya kita segera tinggalkan tempat ini!" Pak Danu langsung memberi inisiatif.
"Tapi Pak--"
"Tidak usah pikirkan jasad mereka. Kita pergi dulu dari sini dan lapor Polisi, biar mereka yang menangani kasus ini," potong Pak Danu.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku juga merasa ketakutan dan keselamatanku seolah terancam jika aku berlama-lama berada di pulau yang sudah merenggut nyawa ketiga sepupu dan kekasihku. Dengan berat hati aku mengikuti saran dari Pak Danu. Kami pun bergegas menuju kapal.
***
Hari semakin gelap, saat kami berada di tengah lautan. Aku masih gemetaran, mengingat jasad ketiga sepupuku yang kami tinggalkan. Di saat yang menegangkan, mesin kapal yang dikemudian Pak Danu mendadak mati.
"Ini kenapa lagi Pak?" tanyaku panik.
"Entahlah Tuan. Baru kali ini mesin kapal mengalami masalah," jawabnya, tak kalah panik.
Namun tiba-tiba, sosok berjubah hitam muncul setelah membuka pintu ruang kemudi, tempat di mana aku dan Pak Danu berada.
"Kalian siapa?!" aku benar-benar panik dan takut, melihat sosok berjubah hitam membawa sebilah parang berada dalam satu ruangan.
Pak Danu diam saja, kulihat ia malah tersenyum sinis kepadaku. Bukan itu saja, bahkan tatapan matanya begitu tajam mengambarkan seolah aku ini adalah musuhnya.
"Pak Danu ...! Adakah sesuatu yang bisa membantu?"
Tidak ada jawaban darinya. Tapi tiba-tiba kurasakan sesuatu menghantam pundakku. Aku tersungkur, tidak lama kemudian sosok berjubah hitam itu membacok bagian pahaku. Seketika itu pula jeritanku pecah. Aku merintih, menahan sakit luka bacokan di pahaku. Aku menoleh Pak Danu, kulihat ia tertawa senang sambil memegang sebuah pipa besi cukup panjang.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Balas dendam!" seseorang berjubah hitam tiba-tiba muncul, dan ia membawa tiga bungkus plastik transparan berisikan kepala tiga sepupuku.
"Sebenarnya siapa kalian?!" teriakku, melihat kini ada dua sosok berjubah hitam di hadapan.
Mereka tertawa, begitu juga Pak Danu. Aku bingung, sebenarnya permainan apa yang sudah mereka jalankan?
Perlahan, mereka membuka penutup kepala secara bersama. Aku ternganga, melihat salah satunya adalah wanita. Mereka melanjutkan membuka topeng yang menyembunyikan wajah mereka sebenarnya.
"Apa ...?! Alun ...?" aku benar-benar tak menyangka kalau satu di antara sosok berjubah hitam itu adalah Alun, kekasihku sendiri. "Kenapa kau lakukan ini?" lanjutku menanyakan.
"Tomi! Lemparkan kepala-kepala pembunuh-pembunuh itu kepada otak dari aksi mereka dulu!" perintah Alun.
Laki-laki yang juga berperan sebagai sosok berjubah itu melemparkan tiga kepala manusia yang dipegangnya ke arahku. Aku tak bisa bergerak, tapi ingatanku mulai terbayang akan masa lalu. Tomi ..., Tomi ..., Tomi ..., nama itu sudah tidak asing lagi, pikirku saat itu.
"Kau masih ingat aku?!" tiba-tiba lelaki itu menunjukkan wajahnya. Aku terkejut melihat bekas luka bakar hampir di seluruh wajahnya. Sorot matanya membawa aku kembali pada masa lalu.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah mati?!"
"Hahahaha! Aku tidak akan mati sebelum aku menghabisi manusia kejam yang sudah membunuh orangtua Alun!"
Sesaat aku terdiam. "Tapi, saat itu aku benar-benar tidak mengetahui kalau ibu Alun juga berada di sana!" jawabku.
"Hahaha! Akhirnya kau mengakuinya. Dasar b*jing*n!" Alun mengayunkan parangnya ke arah dadaku. Aku terguling bersimbah darah.
"Apa kau tahu ... akibat perbuatanmu anak dan istriku juga menjadi korban dalam peristiwa itu? Kau berniat menghabisi laki-laki itu dengan cara membakar penginapan tempat di mana dia berada. Kau dan ketiga sepupumu itu tidak memikirkan ada orang lain selain dia di sana. Kalian tidak pedulikan itu. Kalian tetap membakar penginapan tersebut dengan niat membunuh laki-laki itu. Tapi, apa? Dia selamat! Sementara anak dan istriku juga orangtua wanita yang kau kejar-kejar kala itu turut menjadi korbannya! Dan sekarang kau sudah masuk dalam permainan yang sudah lama kami rancang. Dengan penuh kesabaran Alun menjalin hubungan denganmu, dan cerita karangan tentang sosok berjubah itu sudah mengalihkan perhatianmu, sehingga Alun dan Tomi leluasa membunuh ketiga sepupumu. Kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Darah dan rambut yang bececeran di dalam rumah, semua itu adalah setingan, dan sekarang aku akan memberimu hadiah di malam kasih sayang!" jelas Pak Danu dan langsung memberikanku hadia pukulan keras tepat di kepala menggunakan pipa besi.
Aku mengerang, kepalaku pecah, darah mengucur membasahi wajah. Tetapi aku masih bisa bertanya. "Bagaimana kalian bisa mengatahuinya?"
"Aku melihatnya dengan mata kepala. Dan sekarang kau akan menerima balasannya! Terimalah kejutan sampai mati dariku ini!" jawab Aluna, dan langsung mengayunkan parangnya ke kepalaku berkali-kali, membabi buta, diikuti Tomi yang juga membacokku pada bagian dada. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Lambat laun rasa sakit itupun hilang bersamaan dengan pandanganku yang kian memudar. Samar-samar kulihat mereka tertawa senang.
TAMAT
AKU INGIN PULANG
Meylia Nurhayati
Drama
Inilah kedua kalinya aku bekerja di Taiwan, tepatnya di kota Taichung City. Di sini aku bekerja jaga kakek berumur 76 tahun, tulang kakinya patah karena kecelakaan ke tabrak mobil truk. Aku tinggal serumah dengan anak kakek yang laki-laki, menantu serta kedua cucunya. Anak laki-laki dan menantunya itu adalah majikanku, aku memanggilnya ; Tuan dan Nyonya, dan mereka memanggilku Ati.
Tuan dan Nyonya adalah seorang guru musik. Setiap hari sabtu dan minggu, mereka mengajar di rumah, banyak murid yang datang. Rumah majikan bertingkat lima atau lebih jelasnya ada lima lantai. Karena ruang musik ada di lantai 4, di dalam rumah tidak ada lift, jadi aku harus membantu muridnya membawa alat musiknya itu. Dua hari itu aku sangat sibuk sekali, selain mengurus kakek, aku juga harus masak untuk 20 muridnya.
Membutuhkan waktu satu bulan, aku bisa beradaptasi dengan mereka. Kini kerjaan yang beratpun sudah menjadi terbiasa. Apalagi, si kakek yang aku jaga orangnya baik juga, walau berbeda dengan kedua majikanku, mereka pelit. Namun, aku tidak pedulikan hal itu, yang penting gajihku lancar. Hari demi hari kulalui dengan penuh kesabaran.
Seiring bergantinya hari, bulan dan berakhirnya tahun, keadaan kakek semakin membaik, setelah setahun lamanya duduk di kursi roda. Kini dia sudah bisa jalan lagi. Dengan kesembuhan kakek itu, bukannya membuat kerjaanku tambah ringan, malah bertambah banyak. Sekarang Nyonya sering menyuruhku bekerja di rumah temannya.
"Ati, besok pagi kamu bantu bersihkan rumah temanku. Nanti temanku akan kasih tahu, apa saja yang harus kamu kerjakan. Jam 8 pagi, dia akan menjemputmu, dan kamu pulang jam 5 sore. Hari pertama dia akan menjemputmu dan mengantarkanmu pulang, tapi hari kedua kamu pergi sendiri, memakai sepeda onte itu," ucap Nyonya panjang lebar, raut wajahnya kelihatan begitu senang sambil menebarkan senyuman padaku.
"Tapi, Nyonya. Gimana dengan kerjaan rumah kita ini?" tanyaku memelas berharap tidak jadi kerja di rumah temannya itu.
"Dasar bego! Otakmu taruh di mana? kamu bisa membersihkan rumah kita ini, setelah pulang kerja dari rumah temanku," bentak Nyonya begitu emosi, tangannya menyenggung kepalaku.
"Tapi, Nyonya. Masa aku harus cuci baju dan bersih-bersih malam hari! kapan aku istirahatnya?" tanyaku lagi.
"Aku tidak peduli, pokoknya besok kamu harus kerja," jawab Nyonya singkat, dan dia langsung pergi meninggalkanku.
"Sekarang Nyonya sudah berubah, dia tidak peduli lagi padaku, dipikirannya itu hanya ada uang," gumamku sedih, karena besok pagi aku harus bertempur dengan kerjaan baru.
Pagipun tiba, cuaca hari ini kelihatan mendung seperti akan turun hujan. Memang minggu-minggu ini sering hujan. Mobil sedan hitam sudah terpakir di depan rumah, seorang wanita setengah baya, mengenakan blezer hitamnya turun dari mobil. Wanita inilah yang menjemputku untuk bekerja di rumahnya.
"Selamat pagi, Ati?" sapanya.
"Selamat pagi juga," jawabku.
"Kenalkan, aku Xiao Ping teman majikanmu. Kamu panggil aku tante Xiao saja, biar mudah diingat," ucapnya.
"Oh, Tante Xiao," jawabku lirih.
Akupun masuk ke mobilnya, di dalam mobil tante Xiao terus bertanya tentang diriku, seolah dia ingin tahu lebih banyak lagi tentang diriku yang sebenarnya. Mungkin dia takut aku orang yang tidak baik. Akupun menjawab apa adanya. Lama berbincang, akhirnya sampai juga. Mataku terbelalak kaget, ketika melihat rumahnya yang megah. Keramiknya besar, di setiap sudut ruang terpajang hiasa yang terbuat dari bebatuan, dan guci-guci yang unik. Aku harus hati-hati membersihkan rumah ini.
Hari pertama aku bekerja di rumah tante Xiao berjalan dengan baik, dan besok aku harus pergi sendiri dengan mengendarai sepeda onte. Jika tidak bekerja, Nyonya pasti akan memarahiku. Aku mencoba untuk terus bersabar, walau sesungguhnya raga sudah letih.
Tapi, lama-kelamaan tubuhku mulai ngedrop, karena bekerja 24 jam non stop. Mesin saja kalau setiap hari dipakai, akan cepat rusak. Apalagi dengan tubuh manusia? Setiap hari tenaganya diperas terus, selama 24 jam tidak ada waktu istirahatnya. Akhirnya aku sakit, demam tinggi. Namun, Nyoya tetap tidak peduli. Nyonya malah menyuruhku terus bekerja.
Selama tiga bulan berturut-turut aku bekerja di rumah temannya itu. Uang hasil kerja kerasku, diambil semua oleh Nyonya. Nyonya sangat bahagia bisa mendapat uang banyak, tanpa harus bekerja keras. Lumayan banyak juga sih, kurang lebih 15 juta. Ingin sekali aku melaporkannya ke pihak Konseling, kalau majikanku sering menyuruhku kerja di rumah orang lain dan uangnya dimakan dia, pasti Nyonya akan kena denda. Tapi, aku takut nanti masalahnya tambah besar.
Hari minggupun telah tiba, di hari minggu ini Tuan beserta anak dan 20 muridnya, akan latihan musik di rumah temannya. Tuan bilang aku harus ikut, karena harus masak untuk mereka. Dari pagi kerjaanku sudah aku selesaikan, tinggal menunggu mereka. Rencananya jam 2 siang, kami berangkat. Sebelum berangkat semua murid harus memerika peralatan musiknya, sudah lengkap belum. Anak Tuan yang berumur 11 tahun, menyuruhku untuk mencari bukunya di lantai 4. Akupun cepat-cepat lari menaiki anak tangga, sampai di sana aku mencari di setiap sudut ruangan. Namun, bukunya tidak ditemukan. Di lantai 1, Tuan terus memanggilku, aku cepat turun. Dan Tuan langsung memarahiku.
"Ati, kamu kemana saja? dari tadi aku memanggilmu," tanya Tuan dengan suasana hati yang kesal.
"Maaf Tuan, tadi aku di lantai 4 mencari buku anakmu," jawabku penuh ketakutan.
"Dasar bego! Buku anaku ada didalam tasku," bentak Tuan dengan emosi tinggi.
Kemudian Tuan langsung berjalan ke luar menuju mobilnya. Lalu aku, anak, dan kedua muridnya masuk ke dalam mobil Tuan. Murid yang lainnya diantar oleh orang tuanya masing-masing. Tuan mulai mengendarai mobilnya, benda yang ada di depan bertuliskan -- No Parkir -- plang itu langsung ditabrak oleh mobil Tuan. Mobil Tuan melaju dengan kecepatan tinggi, tapi mulut Tuan masih memakiku. Aku mencoba untuk bersabar, diam membisu. Namun, ucapan Tuan semakin lama semakin menjadi-jadi. Ucapannya itu bagaikan pisau belati yang menusuk hati. Tuan bilang selama ini, aku kerja cuman tiduran doang, numpang makan, serta tidak kerja, cuman luntar-lantur tidak karuan. Ucapannya membuat hati ini terluka, dan bergerak cepat memerintah mulut bersuara melawannya, jika tidak ingin dimaki lagi.
"Maaf, jika Tuan tidak suka denganku, sekarang juga aku mau pulang," ucapku dengan suara lirih.
Mendengar ucapku tadi, Tuan mendadak mengerem mobilnya. Tuan kelihatan tidak bisa mengontrol emosinya, dia langsung menyuruhku pergi.
"Silahkan kamu ke luar dari mobil ini!" bentak Tuan mengusirku, untuk cepat ke luar dari mobilnya.
Tuan menurunkanku di tengah jalan. Air mata ini tak mampu kubendung lagi, aku menangis. Di sepanjang jalan aku masih menangis, tak peduli orang yang melihatku seperti orang aneh. Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah. Setelah lama berjalan, akhirnya sampai rumah juga. Saat kubuka pintu, terlihat Nyonya sedang duduk di ruang tamu. Nyonya terbelalak kaget, ketika melihatku menangis.
"Ati, kamu kenapa?" tanyanya.
"Aku mau pulang, Nyonya," jawabku.
Kemudian aku langsung masuk kamar, dan mengemasi pakaian ke dalam koper. Namun, tiba-tiba Nyonya datang meminta penjelasanku.
"Begini Nyonya, Tuan bilang aku tidak bisa kerja, kerjaanku cuman tiduran doang. Nyonya mungkin tahu sendiri. Kapan aku ada waktu untuk tidur? Pagi, setelah anak Nyonya pergi ke sekolah, Nyonya menyuruhku untuk pergi bekerja di rumah teman Nyonya. Sore hari aku baru pulang, dan langsung kerja rumah sampai tengah malam. Terkadang aku tidak tidur, sampai pagi tiba. Jelas, aku tidak terima Tuan bicara seperti itu. Kalau Nyonya tidak suka aku juga, lebih baik aku pulang. Silahkan Nyonya cari pembantu lain!" aku menjelaskannya panjang lebar.
"Tapi Ati, aku mohon kamu jangan pulang," pinta Nyonya padaku, matanya sudah berkaca-kaca mau menangis.
"Maafkan aku Nyonya, aku sudah tidak kuat lagi kerja di sini. Selama ini aku sudah cukup bersabar, pokoknya aku mau pulang," ungkapku penuh kesedihan.
Wajah Nyonya kelihatan begitu sedih, seolah dia tak ingin aku ke luar dari rumahnya. Tapi, dia tidak bisa lagi memaksaku untuk bekerja. Kini senjapun mulai tenggelam, aku masih terhanyut dalam kesedihan, sambil menunggu Tuan pulang dan agensi datang, minta surat ijin untuk pulang.
Membutuhkan waktu satu bulan, aku bisa beradaptasi dengan mereka. Kini kerjaan yang beratpun sudah menjadi terbiasa. Apalagi, si kakek yang aku jaga orangnya baik juga, walau berbeda dengan kedua majikanku, mereka pelit. Namun, aku tidak pedulikan hal itu, yang penting gajihku lancar. Hari demi hari kulalui dengan penuh kesabaran.
Seiring bergantinya hari, bulan dan berakhirnya tahun, keadaan kakek semakin membaik, setelah setahun lamanya duduk di kursi roda. Kini dia sudah bisa jalan lagi. Dengan kesembuhan kakek itu, bukannya membuat kerjaanku tambah ringan, malah bertambah banyak. Sekarang Nyonya sering menyuruhku bekerja di rumah temannya.
"Ati, besok pagi kamu bantu bersihkan rumah temanku. Nanti temanku akan kasih tahu, apa saja yang harus kamu kerjakan. Jam 8 pagi, dia akan menjemputmu, dan kamu pulang jam 5 sore. Hari pertama dia akan menjemputmu dan mengantarkanmu pulang, tapi hari kedua kamu pergi sendiri, memakai sepeda onte itu," ucap Nyonya panjang lebar, raut wajahnya kelihatan begitu senang sambil menebarkan senyuman padaku.
"Tapi, Nyonya. Gimana dengan kerjaan rumah kita ini?" tanyaku memelas berharap tidak jadi kerja di rumah temannya itu.
"Dasar bego! Otakmu taruh di mana? kamu bisa membersihkan rumah kita ini, setelah pulang kerja dari rumah temanku," bentak Nyonya begitu emosi, tangannya menyenggung kepalaku.
"Tapi, Nyonya. Masa aku harus cuci baju dan bersih-bersih malam hari! kapan aku istirahatnya?" tanyaku lagi.
"Aku tidak peduli, pokoknya besok kamu harus kerja," jawab Nyonya singkat, dan dia langsung pergi meninggalkanku.
"Sekarang Nyonya sudah berubah, dia tidak peduli lagi padaku, dipikirannya itu hanya ada uang," gumamku sedih, karena besok pagi aku harus bertempur dengan kerjaan baru.
Pagipun tiba, cuaca hari ini kelihatan mendung seperti akan turun hujan. Memang minggu-minggu ini sering hujan. Mobil sedan hitam sudah terpakir di depan rumah, seorang wanita setengah baya, mengenakan blezer hitamnya turun dari mobil. Wanita inilah yang menjemputku untuk bekerja di rumahnya.
"Selamat pagi, Ati?" sapanya.
"Selamat pagi juga," jawabku.
"Kenalkan, aku Xiao Ping teman majikanmu. Kamu panggil aku tante Xiao saja, biar mudah diingat," ucapnya.
"Oh, Tante Xiao," jawabku lirih.
Akupun masuk ke mobilnya, di dalam mobil tante Xiao terus bertanya tentang diriku, seolah dia ingin tahu lebih banyak lagi tentang diriku yang sebenarnya. Mungkin dia takut aku orang yang tidak baik. Akupun menjawab apa adanya. Lama berbincang, akhirnya sampai juga. Mataku terbelalak kaget, ketika melihat rumahnya yang megah. Keramiknya besar, di setiap sudut ruang terpajang hiasa yang terbuat dari bebatuan, dan guci-guci yang unik. Aku harus hati-hati membersihkan rumah ini.
Hari pertama aku bekerja di rumah tante Xiao berjalan dengan baik, dan besok aku harus pergi sendiri dengan mengendarai sepeda onte. Jika tidak bekerja, Nyonya pasti akan memarahiku. Aku mencoba untuk terus bersabar, walau sesungguhnya raga sudah letih.
Tapi, lama-kelamaan tubuhku mulai ngedrop, karena bekerja 24 jam non stop. Mesin saja kalau setiap hari dipakai, akan cepat rusak. Apalagi dengan tubuh manusia? Setiap hari tenaganya diperas terus, selama 24 jam tidak ada waktu istirahatnya. Akhirnya aku sakit, demam tinggi. Namun, Nyoya tetap tidak peduli. Nyonya malah menyuruhku terus bekerja.
Selama tiga bulan berturut-turut aku bekerja di rumah temannya itu. Uang hasil kerja kerasku, diambil semua oleh Nyonya. Nyonya sangat bahagia bisa mendapat uang banyak, tanpa harus bekerja keras. Lumayan banyak juga sih, kurang lebih 15 juta. Ingin sekali aku melaporkannya ke pihak Konseling, kalau majikanku sering menyuruhku kerja di rumah orang lain dan uangnya dimakan dia, pasti Nyonya akan kena denda. Tapi, aku takut nanti masalahnya tambah besar.
Hari minggupun telah tiba, di hari minggu ini Tuan beserta anak dan 20 muridnya, akan latihan musik di rumah temannya. Tuan bilang aku harus ikut, karena harus masak untuk mereka. Dari pagi kerjaanku sudah aku selesaikan, tinggal menunggu mereka. Rencananya jam 2 siang, kami berangkat. Sebelum berangkat semua murid harus memerika peralatan musiknya, sudah lengkap belum. Anak Tuan yang berumur 11 tahun, menyuruhku untuk mencari bukunya di lantai 4. Akupun cepat-cepat lari menaiki anak tangga, sampai di sana aku mencari di setiap sudut ruangan. Namun, bukunya tidak ditemukan. Di lantai 1, Tuan terus memanggilku, aku cepat turun. Dan Tuan langsung memarahiku.
"Ati, kamu kemana saja? dari tadi aku memanggilmu," tanya Tuan dengan suasana hati yang kesal.
"Maaf Tuan, tadi aku di lantai 4 mencari buku anakmu," jawabku penuh ketakutan.
"Dasar bego! Buku anaku ada didalam tasku," bentak Tuan dengan emosi tinggi.
Kemudian Tuan langsung berjalan ke luar menuju mobilnya. Lalu aku, anak, dan kedua muridnya masuk ke dalam mobil Tuan. Murid yang lainnya diantar oleh orang tuanya masing-masing. Tuan mulai mengendarai mobilnya, benda yang ada di depan bertuliskan -- No Parkir -- plang itu langsung ditabrak oleh mobil Tuan. Mobil Tuan melaju dengan kecepatan tinggi, tapi mulut Tuan masih memakiku. Aku mencoba untuk bersabar, diam membisu. Namun, ucapan Tuan semakin lama semakin menjadi-jadi. Ucapannya itu bagaikan pisau belati yang menusuk hati. Tuan bilang selama ini, aku kerja cuman tiduran doang, numpang makan, serta tidak kerja, cuman luntar-lantur tidak karuan. Ucapannya membuat hati ini terluka, dan bergerak cepat memerintah mulut bersuara melawannya, jika tidak ingin dimaki lagi.
"Maaf, jika Tuan tidak suka denganku, sekarang juga aku mau pulang," ucapku dengan suara lirih.
Mendengar ucapku tadi, Tuan mendadak mengerem mobilnya. Tuan kelihatan tidak bisa mengontrol emosinya, dia langsung menyuruhku pergi.
"Silahkan kamu ke luar dari mobil ini!" bentak Tuan mengusirku, untuk cepat ke luar dari mobilnya.
Tuan menurunkanku di tengah jalan. Air mata ini tak mampu kubendung lagi, aku menangis. Di sepanjang jalan aku masih menangis, tak peduli orang yang melihatku seperti orang aneh. Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah. Setelah lama berjalan, akhirnya sampai rumah juga. Saat kubuka pintu, terlihat Nyonya sedang duduk di ruang tamu. Nyonya terbelalak kaget, ketika melihatku menangis.
"Ati, kamu kenapa?" tanyanya.
"Aku mau pulang, Nyonya," jawabku.
Kemudian aku langsung masuk kamar, dan mengemasi pakaian ke dalam koper. Namun, tiba-tiba Nyonya datang meminta penjelasanku.
"Begini Nyonya, Tuan bilang aku tidak bisa kerja, kerjaanku cuman tiduran doang. Nyonya mungkin tahu sendiri. Kapan aku ada waktu untuk tidur? Pagi, setelah anak Nyonya pergi ke sekolah, Nyonya menyuruhku untuk pergi bekerja di rumah teman Nyonya. Sore hari aku baru pulang, dan langsung kerja rumah sampai tengah malam. Terkadang aku tidak tidur, sampai pagi tiba. Jelas, aku tidak terima Tuan bicara seperti itu. Kalau Nyonya tidak suka aku juga, lebih baik aku pulang. Silahkan Nyonya cari pembantu lain!" aku menjelaskannya panjang lebar.
"Tapi Ati, aku mohon kamu jangan pulang," pinta Nyonya padaku, matanya sudah berkaca-kaca mau menangis.
"Maafkan aku Nyonya, aku sudah tidak kuat lagi kerja di sini. Selama ini aku sudah cukup bersabar, pokoknya aku mau pulang," ungkapku penuh kesedihan.
Wajah Nyonya kelihatan begitu sedih, seolah dia tak ingin aku ke luar dari rumahnya. Tapi, dia tidak bisa lagi memaksaku untuk bekerja. Kini senjapun mulai tenggelam, aku masih terhanyut dalam kesedihan, sambil menunggu Tuan pulang dan agensi datang, minta surat ijin untuk pulang.
TAMAT
TERBELENGGU
Nabila Bisansa
Thriller
'Seperti ini kah caramu mencintaiku? Membiarkanku terbelenggu seperti ini? Bisakah kau membebaskanku?'
***
Rendy, Orang yang mencintai Izzi bertahun - tahun lamanya.
Namun, Izzi tak pernah sedikit pun ada perasaan kepada Rendy. Namun Rendy tak pernah menyerah. Ia sangat mencintai Izzi.
Mencintai seseorang itu tidaklah mudah. Tak seperti yang kalian pikirkan. Rendy sudah pernah menyatakan cinta kepada Izzi, namun ditolak.
Semua yang terjadi setelah itu baik-baik saja, namun keadaan berputar - balik ketika Rendy tahu bahwa Izzi mencintai orang lain.
Api cemburu membakar hati Rendy. Emosi ini sudah tak tertahankan lagi. Namun, sebagai pria gentle, Ia tak mau main labrak.
Hingga pada suatu hari, telinga Rendy mendengar gosip yang sangat panas. Gosip itu berisi bahwa Izzi jadian sama James. Laki-laki kece yang jadi idaman para perempuan.
Hati Rendy makin memanas. Apalagi setelah gosip itu. Namun, saatnya belum tepat untuk membalas semua ini.
Hingga pada saat hari Valentine tiba, Rendy diundang ke club dan bar tempat anak - anak SMK 13,5 berpesta. Rendy datang, namun lagi - lagi nasib sial menimpanya.
Di club itu, Dia melihat Izzi dan James bermesraan, berdansa, serta berciuman.
Spontan, Rendy langsung meludah jijik. Separah ini kah balasan cintanya? Mengapa Izzi tak pernah menghargai perjuangannya? Kalau diibaratkan, cinta Rendy kepada Izzi bagai langit dan bumi.
Begitu besarnya cinta Rendy. Rendy sangat ingin memiliki Izzi, selamanya.
*12 september 2005*
"Hei, teman - teman, nanti malam aku adakan acara pesta ulang tahunku yang ke - 16, datang ya,!" Seru Izzi melalui microfon.
Malamnya, pesta berjalan lancar dan meriah. Pesta itu selesai sekitar jam 00.00 malam. Semua tamu sudah pulang.
James tadi izin ke kamar mandi. Namun sampai saat ini James tak kunjung datang. Padahal Izzi sudah mengantuk, dan kebetulan kedua orang tuanya sedang bekerja di luar kota.
Tiba - tiba, bel rumah Izzi berbunyi nyaring.
'Ah, siapa sih malam larut begini mau bertamu.' Gumam Izzi sambil beranjak membukakan pintu.
"Happy birthday!" Ucap Rendy sambil menggenggam kado di tangannya.
"Boleh kah aku masuk? Untuk sekedar minum teh smile emoticon "Ucapnya lagi.
Izzi hanya diam sambil mempersilahkan Rendy masuk.
Rendy didalam duduk tenang, namun dia ingin buang air kecil.
Rendy dipersilahkan ke kamar mandi oleh Izzi, dan ditinggal ke ruang tamu.
Dari dalam kamar mandi, ada suara teriakan keras meminta tolong.
Lalu Izzi berkata : "Hey, ini sudah malam, jangan berteriak." Kata Izzi cukup keras.
Tanpa sepengetahuan Izzi, mayat James diseret oleh Rendy ke gudang.
Tanpa sepengetahuan Izzi pula, mulut Izzi dibekap oleh Rendy dari belakang, tentunya dengan obat bius.
Dia dimasukkan ke gudang. Lalu dipasung dan dirantai dengan belenggu yang erat.
Setelah Izzi bangun, betapa kagetnya Dia saat mengetahui bahwa dia berada di gudangnya. Lebih kagetnya lagi, Dia melihat mayat James berdarah - darah ada tepat didepannya.
Lalu muncullah sosok Rendy didepannya.
"Hey, kau sudah bangun. Haha minumlah ini dulu." Ucap Rendy sambil menumpahkan kopi panasnya ke kepala Izzi hingga kulit kepalanya hampir terkelupas.
''Apa yang kau lakukan kepadaku dan James? Mengapa kau membunuhnya? Dan mengapa aku terbelenggu seperti ini?" Teriak Izzi namun suaranya melemah akibat panasnya kopi yang ditumpahkan tadi.
"Bodoh! Aku mencintaimu Izzi, tapi apa balasanmu? Kau berciuman dengan si be*at ini didepan mataku! Ini balasanku sekarang"
"Ayolah Ren, beginikah caramu mencintaiku? Kau membiarkanku terbelenggu seperti ini? Kumohon bebaskan aku!" Ujar Izzi mengiba.
"Haha! Tak bisa! Apakah kau menyadari yang lebih dari ini? Kau telah membelenggu hatiku dan menggantungnya! Sadarkah kau?"
Setelah berhari - hari seusai percakapan tersebut, Rendy mengambil semua harta Izzi, dan membiarkan Izzi yang berteriak meminta dibebaskan dari siksaannya, sekarang sudah sunyi, karna Izzi mati dengan sendirinya.
Setahun kemudian, orang tua Izzi datang, betapa terkejutnya mereka melihat mayat anaknya dan pacar anaknya tergeletak tak berdaya.
Mereka segera telepon polisi dan mengurus pemakaman. Dibalik bilik tirai jendela, terlihat wajah licik Rendy sambil berkata setengah berbisik : "Sekarang kalian berdua, kalian terorku selanjutnya, aku belum puas menghabisi anakmu. Tunggu aku, orang tua!"
TAMAT
***
Rendy, Orang yang mencintai Izzi bertahun - tahun lamanya.
Namun, Izzi tak pernah sedikit pun ada perasaan kepada Rendy. Namun Rendy tak pernah menyerah. Ia sangat mencintai Izzi.
Mencintai seseorang itu tidaklah mudah. Tak seperti yang kalian pikirkan. Rendy sudah pernah menyatakan cinta kepada Izzi, namun ditolak.
Semua yang terjadi setelah itu baik-baik saja, namun keadaan berputar - balik ketika Rendy tahu bahwa Izzi mencintai orang lain.
Api cemburu membakar hati Rendy. Emosi ini sudah tak tertahankan lagi. Namun, sebagai pria gentle, Ia tak mau main labrak.
Hingga pada suatu hari, telinga Rendy mendengar gosip yang sangat panas. Gosip itu berisi bahwa Izzi jadian sama James. Laki-laki kece yang jadi idaman para perempuan.
Hati Rendy makin memanas. Apalagi setelah gosip itu. Namun, saatnya belum tepat untuk membalas semua ini.
Hingga pada saat hari Valentine tiba, Rendy diundang ke club dan bar tempat anak - anak SMK 13,5 berpesta. Rendy datang, namun lagi - lagi nasib sial menimpanya.
Di club itu, Dia melihat Izzi dan James bermesraan, berdansa, serta berciuman.
Spontan, Rendy langsung meludah jijik. Separah ini kah balasan cintanya? Mengapa Izzi tak pernah menghargai perjuangannya? Kalau diibaratkan, cinta Rendy kepada Izzi bagai langit dan bumi.
Begitu besarnya cinta Rendy. Rendy sangat ingin memiliki Izzi, selamanya.
*12 september 2005*
"Hei, teman - teman, nanti malam aku adakan acara pesta ulang tahunku yang ke - 16, datang ya,!" Seru Izzi melalui microfon.
Malamnya, pesta berjalan lancar dan meriah. Pesta itu selesai sekitar jam 00.00 malam. Semua tamu sudah pulang.
James tadi izin ke kamar mandi. Namun sampai saat ini James tak kunjung datang. Padahal Izzi sudah mengantuk, dan kebetulan kedua orang tuanya sedang bekerja di luar kota.
Tiba - tiba, bel rumah Izzi berbunyi nyaring.
'Ah, siapa sih malam larut begini mau bertamu.' Gumam Izzi sambil beranjak membukakan pintu.
"Happy birthday!" Ucap Rendy sambil menggenggam kado di tangannya.
"Boleh kah aku masuk? Untuk sekedar minum teh smile emoticon "Ucapnya lagi.
Izzi hanya diam sambil mempersilahkan Rendy masuk.
Rendy didalam duduk tenang, namun dia ingin buang air kecil.
Rendy dipersilahkan ke kamar mandi oleh Izzi, dan ditinggal ke ruang tamu.
Dari dalam kamar mandi, ada suara teriakan keras meminta tolong.
Lalu Izzi berkata : "Hey, ini sudah malam, jangan berteriak." Kata Izzi cukup keras.
Tanpa sepengetahuan Izzi, mayat James diseret oleh Rendy ke gudang.
Tanpa sepengetahuan Izzi pula, mulut Izzi dibekap oleh Rendy dari belakang, tentunya dengan obat bius.
Dia dimasukkan ke gudang. Lalu dipasung dan dirantai dengan belenggu yang erat.
Setelah Izzi bangun, betapa kagetnya Dia saat mengetahui bahwa dia berada di gudangnya. Lebih kagetnya lagi, Dia melihat mayat James berdarah - darah ada tepat didepannya.
Lalu muncullah sosok Rendy didepannya.
"Hey, kau sudah bangun. Haha minumlah ini dulu." Ucap Rendy sambil menumpahkan kopi panasnya ke kepala Izzi hingga kulit kepalanya hampir terkelupas.
''Apa yang kau lakukan kepadaku dan James? Mengapa kau membunuhnya? Dan mengapa aku terbelenggu seperti ini?" Teriak Izzi namun suaranya melemah akibat panasnya kopi yang ditumpahkan tadi.
"Bodoh! Aku mencintaimu Izzi, tapi apa balasanmu? Kau berciuman dengan si be*at ini didepan mataku! Ini balasanku sekarang"
"Ayolah Ren, beginikah caramu mencintaiku? Kau membiarkanku terbelenggu seperti ini? Kumohon bebaskan aku!" Ujar Izzi mengiba.
"Haha! Tak bisa! Apakah kau menyadari yang lebih dari ini? Kau telah membelenggu hatiku dan menggantungnya! Sadarkah kau?"
Setelah berhari - hari seusai percakapan tersebut, Rendy mengambil semua harta Izzi, dan membiarkan Izzi yang berteriak meminta dibebaskan dari siksaannya, sekarang sudah sunyi, karna Izzi mati dengan sendirinya.
Setahun kemudian, orang tua Izzi datang, betapa terkejutnya mereka melihat mayat anaknya dan pacar anaknya tergeletak tak berdaya.
Mereka segera telepon polisi dan mengurus pemakaman. Dibalik bilik tirai jendela, terlihat wajah licik Rendy sambil berkata setengah berbisik : "Sekarang kalian berdua, kalian terorku selanjutnya, aku belum puas menghabisi anakmu. Tunggu aku, orang tua!"
TAMAT
ELVES
Dinda Cinta
Fantasy
"Huh, tetangga macam apa dia? Seenaknya." Anisa mengepalkan tangannya ketika lagi-lagi Dony mengerjainya. Hari ini Dony menjemput Anisa di sekolah. Tanpa curiga sedikit pun, ia menaiki Ninja Merah milik Dony. Namun, rupanya Dony setengah hati. Masih di pertengahan jalan, Anisa malah diturunkan.
"Kamu bisa pulang sendiri kan? Kamu terlalu berat, Ninjaku bisa kempes memboncengmu," ujarnya dengan tampang mengejek. Tentu saja hal ini membuat Anisa jadi dongkol. Kalau memang tidak mau, ya jangan menawar.
Anisa masih jalan sambil menendangi benda-benda yang ditemuinya. Ketika menendang kaleng minuman tanpa sengaja sebuah toples pecah. Anisa masih berjalan santai. Ia tampak tak peduli. Tanpa disadarinya toples yang pecah tadi mengeluarkan asap tipis. Lalu secara tiba-tiba muncullah sesosok perempuan cantik dari toples itu.
"Waah, aku selamat! Ini pasti gara-gara gadis itu. Ah, aku akan berterima kasih," kata perempuan yang keluar dari toples.
Ia memiliki ukuran tubuh yang kecil sebesar ibu jari. Bentuknya mirip manusia. Ia juga dilengkapi dengan telinga panjang dan lancip. Memiliki rambut yang panjang dan lurut. Matanya biru senada dengan sayapnya yang transparan. Meski dengan tubuh yang kecil, akan tetapi ia memiliki kekuatan besar. Ia adalah seorang peri.
"Hai Anisa," panggil si peri.
Anisa menggeledah segala penjuru dengan pandangan matanya.
"Aneh, perasaan aku mendengar suara memanggilku," gumam Anisa. Hatinya ciut setelah tidak didapatinya siapa pun di sekitarnya. "Mungkin hanya perasaanku saja," pikirnya. Lalu ia berjalan lagi.
"Anisa, tunggu sebentar," ucap peri lagi. Lagi-lagi Anisa tak melihat siapa pun. Ia mulai bergidik ngeri.
"Kamu hantu apa bukan sih? Kalau hantu, kenapa ada hantu di siang bolong begini?" tanya Anisa. Ia terlihat aneh karena bicara sendiri.
"Hai Anisa, aku di sini." Peri itu terbang di hadapan Anisa. Anisa mundur takut-takut.
"Siapa kamu?"
"Aku adalah peri. Kamu pernah mendengar tentang peri?"
"I-iya sih, tapi kupikir peri itu hanya ada di cerita dongeng," tukas Anisa masih tak percaya dengan penglihatannya.
"Sekarang aku ada di hadapanmu, karena kau telah menyelamatkanku dari toples itu. Maka akan kuberikan tiga permintaan."
"Apa maksudmu dengan tiga permintaan?" tanya Anisa bingung.
"Kau ucapkan saja permintaanmu, pasti kupenuhi."
"Bohong," kata Anisa masih tak percaya. "Kamu siapa sih?"
"Kan sudah kukatakan, aku adalah peri."
"Maksudku, namamu siapa? Pasti peri punya nama kan?"
"Apakah ini permintaan pertamamu?"
"Mmm," Anisa ragu.
"Baiklah, kuanggap ini adalah permintaan pertamamu, namaku Elves. Kamu bisa memanggilku El," ujar El memperkenalkan diri.
"Apa? Permintaan pertama? Semudah itu? Kupikir kamu memang peri yang sakti. Ternyata ... "
"Hey, apa maksudmu berkata demikian? Kamu tidak percaya dengan kemampuanku?" tanya El merasa diremehkan.
"Kalau kamu memang punya kekuatan besar, tunjukkan padaku," tantang Anisa.
"Baiklah, karena ini adalah permintaan keduamu, akan kukabulkan," kata El. Ia menggerakkan jarinya lalu tiba-tiba menghilang dengan cepat.
"Apa-apaan itu?" gumam Anisa. Ia mengusap-usap matanya dengan kedua tangan. Dua permintaan emas dilewatkannya begitu saja. Anisa mulai menyesal. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa tidak meminta yang lebih berguna untuknya. Misalnya membuat Dony suka lagi kepadanya seperti dulu.
Dulu Anisa dan Dony pernah menjalin asmara. Namun karena ada wanita lain yang lebih cantik, membuat Dony meninggalkan Anisa. Padahal rumah mereka dekat. Biaya apel jadi irit karena kalau mau kencan tinggal jalan lima langkah. Tapi Dony memilih perempuan yang jarak tempuh ke rumahnya hingga 25 kilometer.
Kembali ingatannya berkecimpung menuju Dony. Sudah beberapa hari ini Dony selalu mengerjainya. Setelah putus dari Dony, berat badan Anisa memang meningkat drastis. Namun entah bagaimana asal-muasalnya. Sikap Dony mulai berubah saat Anisa bertambah gemuk. Meskipun sikap yang ditunjukkannya kerap kali membuat Anisa kesal dan dongkol.
"Aku pulang ... " kata Anisa dengan lemas. Ia membuka gerbang besi di rumahnya. Lalu pandangannya tersita oleh keberadaan Dony di ruang tamu.
"Cha," panggil Dony. Icha adalah panggilan kesayangan Dony untuk Anisa. Sejak mereka putus, Dony tak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu. Terang saja kali ini Anisa bertambah heran. Ia nyaris berteriak girang. Namun ditahannya, lepas itu ia mengganti emosi menjadi murung.
"Kenapa?" tanya Anisa malas.
"Icha, maaf ya yang tadi?" kata Dony.
"Hmm, yaa ... " jawab Anisa ogah-ogahan.
"Kamu jangan gitu dong Cha, kamu masih marah sama aku?"
"Udah deh jangan basa-basi. Maksudmu apa memanggilku Icha lagi? Maksudmu apa berbuat manis padaku? Untuk mengerjaiku lagi? Memangnya, kemana tuh pacar barumu? Apa karena dia meninggalkanmu, lalu kamu bersikap manis padaku?" tutur Anisa menyindir.
"Bukan, tapi karena aku merindukan kita yang dulu."
Satu kalimat itu membuat jantung Anisa berdegup.
Tapi ia segera menggeleng. Tak mau kena tipu lagi. "Udah deh, jangan basa-basi lagi. Kamu to the point aja langsung," ujar Anisa tambah ketus.
"Cha, bisa nggak kita baik-baik aja kayak dulu?"
Deg!
Jantung Anisa berdetak cepat ketika Dony meraih jemarinya untuk diremas hangat oleh Dony. Ia tak mau ini cuma salah paham. Ia tak mau terbawa perasaan. Ia tak mau Dony hanya mengerjainya. Maka, langsung Anisa melepaskan diri dari Dony.
"Jangan sentuh aku, maaf aku tak bisa!" kata Anisa sambil menatap Dony tajam.
"Aku merindukan masa-masa indah kita dulu," kata Dony masih usaha. "Terus?"
"Terus, kamu mau kan kita kayak dulu?"
"Kamu serius?" tanya Anisa masih kurang yakin.
"Apakah aku terlihat kurang meyakinkan untukmu?" jawab Dony dengan pertanyaan. Anisa menatap Dony lunak. Ia mulai terhipnotis oleh ucapan pemuda itu. Bagaimana pun juga, Anisa tak mau memungkiri bahwa ia juga rindu. Ia merindukan masa-masa bersama Dony dulu.
"Baiklah."
"Beneran nih? Yes! Makasih ya Cha, mulai sekarang kita bisa jadi temen lagi kayak dulu. Makasih Cha," kata Dony. Bagai disambar petir di siang bolong. Hati Anisa langsung runtuh. Tak sanggup menerima kenyataan. Jadi teman seperti dulu. Ia pikir Dony mengajaknya balikan. Tapi cuma jadi teman?
"Kamu mengerjaiku lagi ya?" tanya Anisa jengkel bercampur malu dengan perang di hatinya.
"Bukan, bukan begitu. Sungguh? Kita bisa memulainya dengan berteman kan?" kata Dony. Anisa cemberut. Ia mulai menata hatinya kembali. "Oh ya, Cha, Rezy akan ulang tahun beberapa hari lagi. Aku memikirkan untuk memberi kejutan untuknya. Kamu ada ide?" tanya Dony yang mulai dirasa Anisa bahwa inilah maksud terselubungnya.
"Apa hubungannya denganku?" tanya Anisa acuh.
"Rezy tau, kita pernah punya hubungan. Kadang-kadang ia suka cemburu kalau melihatku bersamamu. Jadi kupikir untuk jalan denganmu beberapa hari menjelang ulang tahunnya."
"Jadi, aku hanya sebagai umpanmu, begitu?"
"Tepat sekali," Dony menjentikkan tangannya.
"Seenaknya!" kata Anisa marah. Ia langsung ke kamar dan mengunci diri.
"Hai Anisa, kamu sedang apa?" panggil Elves. Ia sudah ada di tepian bantal yang ditiduri Anisa.
"Kamu? Untuk apa kamu berada disini?" tanya Anisa. Ia merasa percuma bicara pada peri itu. Percuma Elves memberinya tiga permintaan. Kalau toh Elves juga yang menentukan apakah itu permintaannya atau bukan. Padahal Anisa tak pernah meminta. "Aku sedang pusing, kamu jangan menggangguku. Aku sudah menyelamatkanmu kan? Jadi kurasa kamu sudah aman sekarang."
"Aman bagaimana? Aku sudah berjanji, barang siapa yang menyelamatkanku dari toples itu. Maka akan kuberi tiga permintaan. Kau sudah memperoleh dua permintaan. Tinggal satu permintaan lagi maka barulah aku terbebas dari janjiku," ujar Elves panjang lebar.
Anisa mulai berpikir. Ia ingin memiliki tubuh yang ideal. Ia ingin Dony putus dari Rezi. Ia juga ingin bisa berpacaran lagi dengan Dony. Ia mempunyai banyak keinginan. Namun jatahnya hanya tinggal satu. Ia berpikir keras. Permintaan apakah yang harur ia ajukan. Yan tentu saja dapat mengabulkan semua permintaannya dalam sekali permintaan.
"Ini adalah permintaan ketigaku, aku ingin kau mengabulkan semua permintaanku tanpa batas." Tiba-tiba permintaan itu mengalir begitu saja dari mulutnya.
Elves mematung. Ia tidak menyangka akan menjadi seperti ini.
Sejak saat itu, apapun yang diinginkan Anisa menjadi titah bagi Elves. Anisa menjadi langsing, Dony putus dengan Rezy, dan ia kembali berpacaran dengan Dony. Namun rupanya Anisa tak pernah puas. Ia mulai menyiksa Elves dengan berbagai permintaan.
"Aku tidak suka dengan Rezy, buat dia jadi terkucilkan. Berikan dia penyakit yang menjijikkan sehingga tidak ada yang berani dekat dengannya." Maka Elves patuh dengan titah penyelamatnya. Ia hanya menggerakkan jarinya dan permintaan Anisa jadi kenyataan.
Anisa mulai egois. Segala tindakan siapa pun yang tak disenanginya maka akan bernasib buruk seperti Rezy bahkan lebih buruk. Hingga suatu hari, ia menemukan Dony mendekati Rezy. Anisa marah besar.
"Aku ingin kalian semua pergi dari hidupku!" Dan tidak perlu menunggu lama. Orang-orang di sekitarnya menghilang. Termasuk Elves. Tinggallah Anisa sendirian.
TAMAT
"Kamu bisa pulang sendiri kan? Kamu terlalu berat, Ninjaku bisa kempes memboncengmu," ujarnya dengan tampang mengejek. Tentu saja hal ini membuat Anisa jadi dongkol. Kalau memang tidak mau, ya jangan menawar.
Anisa masih jalan sambil menendangi benda-benda yang ditemuinya. Ketika menendang kaleng minuman tanpa sengaja sebuah toples pecah. Anisa masih berjalan santai. Ia tampak tak peduli. Tanpa disadarinya toples yang pecah tadi mengeluarkan asap tipis. Lalu secara tiba-tiba muncullah sesosok perempuan cantik dari toples itu.
"Waah, aku selamat! Ini pasti gara-gara gadis itu. Ah, aku akan berterima kasih," kata perempuan yang keluar dari toples.
Ia memiliki ukuran tubuh yang kecil sebesar ibu jari. Bentuknya mirip manusia. Ia juga dilengkapi dengan telinga panjang dan lancip. Memiliki rambut yang panjang dan lurut. Matanya biru senada dengan sayapnya yang transparan. Meski dengan tubuh yang kecil, akan tetapi ia memiliki kekuatan besar. Ia adalah seorang peri.
"Hai Anisa," panggil si peri.
Anisa menggeledah segala penjuru dengan pandangan matanya.
"Aneh, perasaan aku mendengar suara memanggilku," gumam Anisa. Hatinya ciut setelah tidak didapatinya siapa pun di sekitarnya. "Mungkin hanya perasaanku saja," pikirnya. Lalu ia berjalan lagi.
"Anisa, tunggu sebentar," ucap peri lagi. Lagi-lagi Anisa tak melihat siapa pun. Ia mulai bergidik ngeri.
"Kamu hantu apa bukan sih? Kalau hantu, kenapa ada hantu di siang bolong begini?" tanya Anisa. Ia terlihat aneh karena bicara sendiri.
"Hai Anisa, aku di sini." Peri itu terbang di hadapan Anisa. Anisa mundur takut-takut.
"Siapa kamu?"
"Aku adalah peri. Kamu pernah mendengar tentang peri?"
"I-iya sih, tapi kupikir peri itu hanya ada di cerita dongeng," tukas Anisa masih tak percaya dengan penglihatannya.
"Sekarang aku ada di hadapanmu, karena kau telah menyelamatkanku dari toples itu. Maka akan kuberikan tiga permintaan."
"Apa maksudmu dengan tiga permintaan?" tanya Anisa bingung.
"Kau ucapkan saja permintaanmu, pasti kupenuhi."
"Bohong," kata Anisa masih tak percaya. "Kamu siapa sih?"
"Kan sudah kukatakan, aku adalah peri."
"Maksudku, namamu siapa? Pasti peri punya nama kan?"
"Apakah ini permintaan pertamamu?"
"Mmm," Anisa ragu.
"Baiklah, kuanggap ini adalah permintaan pertamamu, namaku Elves. Kamu bisa memanggilku El," ujar El memperkenalkan diri.
"Apa? Permintaan pertama? Semudah itu? Kupikir kamu memang peri yang sakti. Ternyata ... "
"Hey, apa maksudmu berkata demikian? Kamu tidak percaya dengan kemampuanku?" tanya El merasa diremehkan.
"Kalau kamu memang punya kekuatan besar, tunjukkan padaku," tantang Anisa.
"Baiklah, karena ini adalah permintaan keduamu, akan kukabulkan," kata El. Ia menggerakkan jarinya lalu tiba-tiba menghilang dengan cepat.
"Apa-apaan itu?" gumam Anisa. Ia mengusap-usap matanya dengan kedua tangan. Dua permintaan emas dilewatkannya begitu saja. Anisa mulai menyesal. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa tidak meminta yang lebih berguna untuknya. Misalnya membuat Dony suka lagi kepadanya seperti dulu.
Dulu Anisa dan Dony pernah menjalin asmara. Namun karena ada wanita lain yang lebih cantik, membuat Dony meninggalkan Anisa. Padahal rumah mereka dekat. Biaya apel jadi irit karena kalau mau kencan tinggal jalan lima langkah. Tapi Dony memilih perempuan yang jarak tempuh ke rumahnya hingga 25 kilometer.
Kembali ingatannya berkecimpung menuju Dony. Sudah beberapa hari ini Dony selalu mengerjainya. Setelah putus dari Dony, berat badan Anisa memang meningkat drastis. Namun entah bagaimana asal-muasalnya. Sikap Dony mulai berubah saat Anisa bertambah gemuk. Meskipun sikap yang ditunjukkannya kerap kali membuat Anisa kesal dan dongkol.
"Aku pulang ... " kata Anisa dengan lemas. Ia membuka gerbang besi di rumahnya. Lalu pandangannya tersita oleh keberadaan Dony di ruang tamu.
"Cha," panggil Dony. Icha adalah panggilan kesayangan Dony untuk Anisa. Sejak mereka putus, Dony tak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu. Terang saja kali ini Anisa bertambah heran. Ia nyaris berteriak girang. Namun ditahannya, lepas itu ia mengganti emosi menjadi murung.
"Kenapa?" tanya Anisa malas.
"Icha, maaf ya yang tadi?" kata Dony.
"Hmm, yaa ... " jawab Anisa ogah-ogahan.
"Kamu jangan gitu dong Cha, kamu masih marah sama aku?"
"Udah deh jangan basa-basi. Maksudmu apa memanggilku Icha lagi? Maksudmu apa berbuat manis padaku? Untuk mengerjaiku lagi? Memangnya, kemana tuh pacar barumu? Apa karena dia meninggalkanmu, lalu kamu bersikap manis padaku?" tutur Anisa menyindir.
"Bukan, tapi karena aku merindukan kita yang dulu."
Satu kalimat itu membuat jantung Anisa berdegup.
Tapi ia segera menggeleng. Tak mau kena tipu lagi. "Udah deh, jangan basa-basi lagi. Kamu to the point aja langsung," ujar Anisa tambah ketus.
"Cha, bisa nggak kita baik-baik aja kayak dulu?"
Deg!
Jantung Anisa berdetak cepat ketika Dony meraih jemarinya untuk diremas hangat oleh Dony. Ia tak mau ini cuma salah paham. Ia tak mau terbawa perasaan. Ia tak mau Dony hanya mengerjainya. Maka, langsung Anisa melepaskan diri dari Dony.
"Jangan sentuh aku, maaf aku tak bisa!" kata Anisa sambil menatap Dony tajam.
"Aku merindukan masa-masa indah kita dulu," kata Dony masih usaha. "Terus?"
"Terus, kamu mau kan kita kayak dulu?"
"Kamu serius?" tanya Anisa masih kurang yakin.
"Apakah aku terlihat kurang meyakinkan untukmu?" jawab Dony dengan pertanyaan. Anisa menatap Dony lunak. Ia mulai terhipnotis oleh ucapan pemuda itu. Bagaimana pun juga, Anisa tak mau memungkiri bahwa ia juga rindu. Ia merindukan masa-masa bersama Dony dulu.
"Baiklah."
"Beneran nih? Yes! Makasih ya Cha, mulai sekarang kita bisa jadi temen lagi kayak dulu. Makasih Cha," kata Dony. Bagai disambar petir di siang bolong. Hati Anisa langsung runtuh. Tak sanggup menerima kenyataan. Jadi teman seperti dulu. Ia pikir Dony mengajaknya balikan. Tapi cuma jadi teman?
"Kamu mengerjaiku lagi ya?" tanya Anisa jengkel bercampur malu dengan perang di hatinya.
"Bukan, bukan begitu. Sungguh? Kita bisa memulainya dengan berteman kan?" kata Dony. Anisa cemberut. Ia mulai menata hatinya kembali. "Oh ya, Cha, Rezy akan ulang tahun beberapa hari lagi. Aku memikirkan untuk memberi kejutan untuknya. Kamu ada ide?" tanya Dony yang mulai dirasa Anisa bahwa inilah maksud terselubungnya.
"Apa hubungannya denganku?" tanya Anisa acuh.
"Rezy tau, kita pernah punya hubungan. Kadang-kadang ia suka cemburu kalau melihatku bersamamu. Jadi kupikir untuk jalan denganmu beberapa hari menjelang ulang tahunnya."
"Jadi, aku hanya sebagai umpanmu, begitu?"
"Tepat sekali," Dony menjentikkan tangannya.
"Seenaknya!" kata Anisa marah. Ia langsung ke kamar dan mengunci diri.
"Hai Anisa, kamu sedang apa?" panggil Elves. Ia sudah ada di tepian bantal yang ditiduri Anisa.
"Kamu? Untuk apa kamu berada disini?" tanya Anisa. Ia merasa percuma bicara pada peri itu. Percuma Elves memberinya tiga permintaan. Kalau toh Elves juga yang menentukan apakah itu permintaannya atau bukan. Padahal Anisa tak pernah meminta. "Aku sedang pusing, kamu jangan menggangguku. Aku sudah menyelamatkanmu kan? Jadi kurasa kamu sudah aman sekarang."
"Aman bagaimana? Aku sudah berjanji, barang siapa yang menyelamatkanku dari toples itu. Maka akan kuberi tiga permintaan. Kau sudah memperoleh dua permintaan. Tinggal satu permintaan lagi maka barulah aku terbebas dari janjiku," ujar Elves panjang lebar.
Anisa mulai berpikir. Ia ingin memiliki tubuh yang ideal. Ia ingin Dony putus dari Rezi. Ia juga ingin bisa berpacaran lagi dengan Dony. Ia mempunyai banyak keinginan. Namun jatahnya hanya tinggal satu. Ia berpikir keras. Permintaan apakah yang harur ia ajukan. Yan tentu saja dapat mengabulkan semua permintaannya dalam sekali permintaan.
"Ini adalah permintaan ketigaku, aku ingin kau mengabulkan semua permintaanku tanpa batas." Tiba-tiba permintaan itu mengalir begitu saja dari mulutnya.
Elves mematung. Ia tidak menyangka akan menjadi seperti ini.
Sejak saat itu, apapun yang diinginkan Anisa menjadi titah bagi Elves. Anisa menjadi langsing, Dony putus dengan Rezy, dan ia kembali berpacaran dengan Dony. Namun rupanya Anisa tak pernah puas. Ia mulai menyiksa Elves dengan berbagai permintaan.
"Aku tidak suka dengan Rezy, buat dia jadi terkucilkan. Berikan dia penyakit yang menjijikkan sehingga tidak ada yang berani dekat dengannya." Maka Elves patuh dengan titah penyelamatnya. Ia hanya menggerakkan jarinya dan permintaan Anisa jadi kenyataan.
Anisa mulai egois. Segala tindakan siapa pun yang tak disenanginya maka akan bernasib buruk seperti Rezy bahkan lebih buruk. Hingga suatu hari, ia menemukan Dony mendekati Rezy. Anisa marah besar.
"Aku ingin kalian semua pergi dari hidupku!" Dan tidak perlu menunggu lama. Orang-orang di sekitarnya menghilang. Termasuk Elves. Tinggallah Anisa sendirian.
TAMAT
Nah, bagaimana tulisan mereka? Beberapa mungkin sudah baik, beberapa masih butuh banyak belajar. But, it's okay. Mari kita apresiasi setiap karya yang telah tercipta dengan cara memberikan saran dan kritik yang membangun. Tentunya disampaikan dengan cara yang sopan yah. Selamat membaca dan sampai bertemu di artikel selanjutnya.
No comments:
Post a Comment
Selamat datang para pengunjung. Bebaskan dirimu dalam berekspresi menggunakan kata-kata selama sopan dan tidak mengandung SARA. Apakah artikel ini menarik bagimu? Silahkan meninggalkan opini, pesan, dan kesan di kolom komentar.
- Admin -