Kali ini, Panchake mengangkat tema "Rumah Tetangga" untuk Parade Horor Duet (PHD), dan "Rumah Mantan" untuk Parade Horor-Komedi Duet (PHKD). Nah, berikut ini adalah hasil rekap yang telah dikumpulkan Penjaga Makam dan sesuai dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
[PHD] MISTERI MASAKAN NENEK
Rismawati Irliani & Winda Puspa Permono
"Aaah, akhirnya beres juga," Sinta mengusap keringat yang sedari tadi mengucur tak henti-henti dari keningnya.
Sinta baru saja menata perabotan-perabotan rumah tangga. Dia dan suaminya, Rama, baru saja pindah rumah kemarin sore. Malam keburu datang dan lelah yang teramat sangat membuat mereka tak sempat membereskan semua barang. Jadinya pagi ini Sinta harus melanjutkan menata perabotan sendirian sebab Rama harus pergi bekerja.
Sinta menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sesaat ia melihat jam di tangannya, baru pukul tiga sore. Masih ada waktu untuk menyiapkan makan malam untuk Rama pulang kerja nanti. Namun, ia sedikit bingung mau memasak apa.
Sinta beranjak hendak ke dapur, tapi pandangannya tersita oleh rumah sebelah. Ia diam-diam melihat dari balik gorden. Jendela rumah Sinta berdekatan dengan jendela tetangga. Jarak rumah itu sekitar 3 meter. Pagar depan hanya menutupi sebagian rumah saja. Sinta lebih leluasa untuk memperhatikan keadaan rumah tetangganya. Rumah yang sederhana, pikirnya. Tampak pohon-pohon di depan rumah itu tak terurus. Dedaunan berserakan. Sinta berusaha meneliti isi rumah itu. Mengamatinya dari jendela rumah itu yang sedikit terbuka. Rumah itu agak gelap. Tiba-tiba ia terkejut dan cepat menutup gorden rumahnya. Seorang nenek menatapnya garang, matanya sedikit menyeramkan.
Jantung Sinta masih berdegup kencang, saat pintu rumahnya diketok oleh seseorang. Ia bergegas membuka pintu rumahnya. Hampir ia berteriak, seorang nenek yang tadi dilihatnya sekarang ada di depannya. Berdiri membawa sesuatu.
"Maaf, aku membuatmu kaget, Nak. Nenek tadi lihat kamu di jendela," sapanya tanpa sedikitpun tersenyum.
"Oh, Nenek tetangga sebelah? Maaf Nek, aku agak cape saja jadi kurang konsentrasi," ujar Sinta mencoba menenangkan irama detakan jantungnya yang semakin keras.
"Tak apa, Nenek mengantarkan ini," ia menyodorkan semangkuk sup pada Sinta. "Menurut Nenek kau sangat sibuk, pasti tak sempat memasak untuk suamimu."
"Wah, enak bener, Nek. Iya nih, tadi sempat bingung mau masak apa. Nenek masak sendiri?" Sinta menghirup lebih lama aroma sup itu. Perutnya langsung lapar. Sup itu terlihat lezat.
"Nikmatilah, Nenek pulang dulu. Nenek sendirian di rumah. Kau jangan dengarkan cerita tetangga sini, ya! Mereka terlalu mengurusi orang lain," ia menepuk bahu sinta.
Setelah itu sang nenek pulang, Sinta masih saja berdiri menghirup aroma semangkuk sup buatan Nenek yang sempat membuatnya takut. Setelah puas menghirup kepulan asap sup panas itu, Sinta bergegas ke dapur mengambil sendok. Mencicipi sedikit masakan itu. Dengan tak sabar ia menunggu suaminya pulang bekerja.
***
"Pa, kau tahu tentang Nenek itu?" Sinta bertanya pada suaminya sambil menuangkan air ke dalam gelas. Mereka sedang makan malam.
"Yang mana, Ma?" Rama masih bingung.
Sinta tak menjawab, ia berjalan mengambil sesuatu dari dalam panci yang masih bertengger di atas kompor pojok dapur. Ia kembali membawa semangkok sup.
Kepulan asap dari semangkuk sup itu membuat Rama mengendus-endus. "Wah, harum banget, Mah," serunya menyambut mangkok sup dari tangan istrinya.
"Itu masakan Nenek sebelah, Pa. Enak banget. Mama udah cicipin tadi."
Malam itu mereka menghabiskan makan malam yang lezat. Pujian buat sang nenek tetangga tak berhenti di ruang makan saja.
"Pa, Mama mau belajar deh, masak sama Nenek. Mau kali ya dia ajarin Mama," Sinta bicara sambil memandang langit-langit kamar. Selimut masih dipeganginya. Matanya enggan terpejam. Semangkuk sup dari nenek itu membuatnya membayangkan mendirikan sebuah restorant.
"Orang tua memang selalu punya resep ajaib, Ma. Jadi kamu harus belajar, mumpung tetangga," ujar Rama yang seakan tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya. Setelah itu suaminya bergegas menarik selimut.
Sementara Sinta, ia masih sibuk dengan hayalannya.
***
Sinta baru saja menata perabotan-perabotan rumah tangga. Dia dan suaminya, Rama, baru saja pindah rumah kemarin sore. Malam keburu datang dan lelah yang teramat sangat membuat mereka tak sempat membereskan semua barang. Jadinya pagi ini Sinta harus melanjutkan menata perabotan sendirian sebab Rama harus pergi bekerja.
Sinta menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sesaat ia melihat jam di tangannya, baru pukul tiga sore. Masih ada waktu untuk menyiapkan makan malam untuk Rama pulang kerja nanti. Namun, ia sedikit bingung mau memasak apa.
Sinta beranjak hendak ke dapur, tapi pandangannya tersita oleh rumah sebelah. Ia diam-diam melihat dari balik gorden. Jendela rumah Sinta berdekatan dengan jendela tetangga. Jarak rumah itu sekitar 3 meter. Pagar depan hanya menutupi sebagian rumah saja. Sinta lebih leluasa untuk memperhatikan keadaan rumah tetangganya. Rumah yang sederhana, pikirnya. Tampak pohon-pohon di depan rumah itu tak terurus. Dedaunan berserakan. Sinta berusaha meneliti isi rumah itu. Mengamatinya dari jendela rumah itu yang sedikit terbuka. Rumah itu agak gelap. Tiba-tiba ia terkejut dan cepat menutup gorden rumahnya. Seorang nenek menatapnya garang, matanya sedikit menyeramkan.
Jantung Sinta masih berdegup kencang, saat pintu rumahnya diketok oleh seseorang. Ia bergegas membuka pintu rumahnya. Hampir ia berteriak, seorang nenek yang tadi dilihatnya sekarang ada di depannya. Berdiri membawa sesuatu.
"Maaf, aku membuatmu kaget, Nak. Nenek tadi lihat kamu di jendela," sapanya tanpa sedikitpun tersenyum.
"Oh, Nenek tetangga sebelah? Maaf Nek, aku agak cape saja jadi kurang konsentrasi," ujar Sinta mencoba menenangkan irama detakan jantungnya yang semakin keras.
"Tak apa, Nenek mengantarkan ini," ia menyodorkan semangkuk sup pada Sinta. "Menurut Nenek kau sangat sibuk, pasti tak sempat memasak untuk suamimu."
"Wah, enak bener, Nek. Iya nih, tadi sempat bingung mau masak apa. Nenek masak sendiri?" Sinta menghirup lebih lama aroma sup itu. Perutnya langsung lapar. Sup itu terlihat lezat.
"Nikmatilah, Nenek pulang dulu. Nenek sendirian di rumah. Kau jangan dengarkan cerita tetangga sini, ya! Mereka terlalu mengurusi orang lain," ia menepuk bahu sinta.
Setelah itu sang nenek pulang, Sinta masih saja berdiri menghirup aroma semangkuk sup buatan Nenek yang sempat membuatnya takut. Setelah puas menghirup kepulan asap sup panas itu, Sinta bergegas ke dapur mengambil sendok. Mencicipi sedikit masakan itu. Dengan tak sabar ia menunggu suaminya pulang bekerja.
***
"Pa, kau tahu tentang Nenek itu?" Sinta bertanya pada suaminya sambil menuangkan air ke dalam gelas. Mereka sedang makan malam.
"Yang mana, Ma?" Rama masih bingung.
Sinta tak menjawab, ia berjalan mengambil sesuatu dari dalam panci yang masih bertengger di atas kompor pojok dapur. Ia kembali membawa semangkok sup.
Kepulan asap dari semangkuk sup itu membuat Rama mengendus-endus. "Wah, harum banget, Mah," serunya menyambut mangkok sup dari tangan istrinya.
"Itu masakan Nenek sebelah, Pa. Enak banget. Mama udah cicipin tadi."
Malam itu mereka menghabiskan makan malam yang lezat. Pujian buat sang nenek tetangga tak berhenti di ruang makan saja.
"Pa, Mama mau belajar deh, masak sama Nenek. Mau kali ya dia ajarin Mama," Sinta bicara sambil memandang langit-langit kamar. Selimut masih dipeganginya. Matanya enggan terpejam. Semangkuk sup dari nenek itu membuatnya membayangkan mendirikan sebuah restorant.
"Orang tua memang selalu punya resep ajaib, Ma. Jadi kamu harus belajar, mumpung tetangga," ujar Rama yang seakan tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya. Setelah itu suaminya bergegas menarik selimut.
Sementara Sinta, ia masih sibuk dengan hayalannya.
***
Sebulan sudah sejak kepindahan itu, ia sangat senang bersama suaminya di rumah yang baru. Apalagi setiap minggu mereka diberikan oleh nenek tetangga beragam masakan. Mulai dari sup daging hingga semur daging. Semua masakan itu sangat lezat.
"Kita mendapat masakan lagi dari Nenek?" tanya Rama saat melihat sepiring bistik di meja makan malam.
"Iya Pa, setiap minggu sepertinya ia memasak enak. Mama hapal, jadi setiap jumat Mama ga masak. Hehe, " ujar Sinta terkekeh.
"Kau tak merasa aneh?" Rama memandangi istrinya yang lebih dulu melahap makanannya.
"Tidak, aneh bagaimana?"
"Ia memasak setiap malam Jumat, ingatlah! Apa mungkin ia sedang merayakan sesuatu?" Rama mencoba menyuruh Sinta untuk berpikir.
Namun, Sinta seakan tak peduli. Ia terus melahap makan malamnya. "Ayo dimakan Pa! Nanti Mama habiskan loh!"
Rama akhirnya menurut saja dengan istrinya. Mereka segera menikmati hidangan makan malam itu dengan lahap.
***
"Nenek itu sudah terlalu sering memberi kita makanan, Ma. Sebaiknya kau beri juga dia sesuatu," ujar Rama seraya memberikan Sinta beberapa lembar uang. "Masaklah, dan bagilah dengannya!"
Sinta mengangguk senang menerima uang itu. Ia akan ke pasar pagi ini, memasak enak untuk nenek tetangga sebelah yang sangat baik buat mereka.
"Mah, Papa berangkat. Nanti Papa ga pulang. Papa lembur, kamu ajak saja Nenek menginap di rumah kita, ya!" jelas Rama sambil mengecup kening Sinta.
Ia melepas kepergian suaminya hingga hilang di balik pintu.
Barang belanjaan telah ia beli. Bolak balik lembaran buku resep itu dibukanya. Ia ingin memasak lebih enak dari sang nenek. Sangat malu jika masakannya nanti dihina nenek. Bermodalkan buku resep yang baru saja dibelinya itu ia sangat yakin masakannya akan enak.
Selesai sudah, sepiring capcay, ikan peda goreng dan sambal. Rupanya ia tak terlalu paham dengan resep yang ada di buku. Akhirnya menu di atas menjadi pilihan terakhir. Namun ia sudah cukup puas, sebab masakannya hari ini lebih enak dari biasanya. Ia menatap masakannya dengan tatapan lapar. Pasti nenek senang, pikirnya.
Bergegas setelah itu ia ke rumah nenek.Sinta mencoba memangil nenek. Namun setelah beberapa kali Sinta memanggil, tak ada sahutan. Rupanya pintu tak terkunci, akhirnya ia memutuskan untuk masuk saja.
Rumah nenek itu remang-remang. Sinta was-was melewati beberapa lukisan-lukisan di dinding. Lukisan itu sangat angker. Seperti lukisan-lukisan jaman dahulu, kesan antiknya sangat nyata. Keadaan itu membuat bulu kuduk Sinta berdiri, rasa takut menyelinap di hatinya. Namun cepat ditepisnya prasangka tak karuan itu.
"Nek? Nenek di mana?" panggil Sinta.
Tetap tak ada sahutan.
Ia berdiam sejenak, kembali memperhatikan sekeliling rumah itu. Menatap satu persatu perabotan rumah yang tampak usang tak terurus. Rumah itu sangat luas, padahal dari luar tampak begitu kecil.
Tiba-tiba, saat Sinta tengah memperhatikan barang-barang itu, secara samar-samar ia mendengar suara pukulan dari dalam kamar di pojok dekat dapur. Sinta bergegas mendekati kamar itu.
Dibukanya pintu itu, perlahan. Baru sedikit ia membuka pintu, mangkuk yang ditangannya sudah jatuh ke lantai. Sinta melihat nenek itu sedang asyik memotongi tubuh seseorang. Mengiris-ngiris dagingnya sambil bersenandung menakutkan. Senandung kidung entah mantra yang dinyanyikannya itu berhenti.
Bergegas Sinta ke luar dari rumah sang nenek. Berusaha menyeret kakinya yang mulai kehabisan tenaga. Tubuhnya menggigil. Belum sempat ia mencapai pintu depan rumah itu, terlambat sudah. Sang nenek telah menjambak rambutnya.
"Kemana kau wanita lancang?" Menatap Sinta dengan geram. Di tangan kirinya sebilah kapak berlumuran darah.
"Ampun Nek. Ampuuun," Sinta memohon.
Nenek itu tak peduli dengan Sinta yang berontak padanya. Nenek itu malah menyeretnya ke dalam kamar itu. Sinta berteriak-teriak. Namun sang nenek sangat kuat.
"Kau harus membayar sikapmu!" teriak Nenek keras. "Tak ada yang mendengar teriakanmu Sinta, hahahah."
"Jangan Nek. Jangan!" Sinta berurai air mata. Ia berada di sebelah mayat yang sudah tanpa kepala, tangan dan kaki.
"Jika kau kubiarkan hidup, kau akan mengganggu acaraku." Nenek menarik Sinta dan mengikatnya di tiang ulin. Merobek semua baju Sinta hingga tak ada benang sehelai pun.
BLAK ...! Tangan kanan Sinta dipotong. Belum sempat Sinta berteriak, tangan itu sudah tersumpal di mulutnya.
"Diam! Ini untuk mulutmu yang berisik itu." Nenek memaki tak henti-henti. Mata Sinta mendelik, tersedak tangannya sendiri. Sedangkan darah terus mengucur, Sinta mulai kehilangan tenaga dan pasrah.
Nenek memandang tubuh Sinta dengan tatapan penuh arti, seakan-akan Sinta adalah sesuatu yang berharga untuknya.
"Dengar sayang, ini tak akan sakit. Kau jangan takut ya anak manis. Aku hanya akan mengambil dagingmu pelan-pelan," ujar Nenek seraya mulai menyayat tubuh mulus Sinta.
Sinta mulai kehabisan darah, matanya berkunang-kunang. Pusing oleh bau anyir darahnya sendiri yang menggenang di lantai.
Terakhir yang dia lihat, sang nenek memotong kedua kakinya dan diacungkan tinggi-tinggi di depan matanya.
"Hahaha, kau memang sangat berharga untukku, Sinta. Dengan memakan dagingmu genap sudah aku memakan 7 mayat dan akan hidup abadi selamanya."
Dengan bersenandung riang, sang nenek mulai memasukkan potongan-potongan daging Sinta ke dalam sebuah panci besar di atas tungku.
Sinta mengangguk senang menerima uang itu. Ia akan ke pasar pagi ini, memasak enak untuk nenek tetangga sebelah yang sangat baik buat mereka.
"Mah, Papa berangkat. Nanti Papa ga pulang. Papa lembur, kamu ajak saja Nenek menginap di rumah kita, ya!" jelas Rama sambil mengecup kening Sinta.
Ia melepas kepergian suaminya hingga hilang di balik pintu.
Barang belanjaan telah ia beli. Bolak balik lembaran buku resep itu dibukanya. Ia ingin memasak lebih enak dari sang nenek. Sangat malu jika masakannya nanti dihina nenek. Bermodalkan buku resep yang baru saja dibelinya itu ia sangat yakin masakannya akan enak.
Selesai sudah, sepiring capcay, ikan peda goreng dan sambal. Rupanya ia tak terlalu paham dengan resep yang ada di buku. Akhirnya menu di atas menjadi pilihan terakhir. Namun ia sudah cukup puas, sebab masakannya hari ini lebih enak dari biasanya. Ia menatap masakannya dengan tatapan lapar. Pasti nenek senang, pikirnya.
Bergegas setelah itu ia ke rumah nenek.Sinta mencoba memangil nenek. Namun setelah beberapa kali Sinta memanggil, tak ada sahutan. Rupanya pintu tak terkunci, akhirnya ia memutuskan untuk masuk saja.
Rumah nenek itu remang-remang. Sinta was-was melewati beberapa lukisan-lukisan di dinding. Lukisan itu sangat angker. Seperti lukisan-lukisan jaman dahulu, kesan antiknya sangat nyata. Keadaan itu membuat bulu kuduk Sinta berdiri, rasa takut menyelinap di hatinya. Namun cepat ditepisnya prasangka tak karuan itu.
"Nek? Nenek di mana?" panggil Sinta.
Tetap tak ada sahutan.
Ia berdiam sejenak, kembali memperhatikan sekeliling rumah itu. Menatap satu persatu perabotan rumah yang tampak usang tak terurus. Rumah itu sangat luas, padahal dari luar tampak begitu kecil.
Tiba-tiba, saat Sinta tengah memperhatikan barang-barang itu, secara samar-samar ia mendengar suara pukulan dari dalam kamar di pojok dekat dapur. Sinta bergegas mendekati kamar itu.
Dibukanya pintu itu, perlahan. Baru sedikit ia membuka pintu, mangkuk yang ditangannya sudah jatuh ke lantai. Sinta melihat nenek itu sedang asyik memotongi tubuh seseorang. Mengiris-ngiris dagingnya sambil bersenandung menakutkan. Senandung kidung entah mantra yang dinyanyikannya itu berhenti.
Bergegas Sinta ke luar dari rumah sang nenek. Berusaha menyeret kakinya yang mulai kehabisan tenaga. Tubuhnya menggigil. Belum sempat ia mencapai pintu depan rumah itu, terlambat sudah. Sang nenek telah menjambak rambutnya.
"Kemana kau wanita lancang?" Menatap Sinta dengan geram. Di tangan kirinya sebilah kapak berlumuran darah.
"Ampun Nek. Ampuuun," Sinta memohon.
Nenek itu tak peduli dengan Sinta yang berontak padanya. Nenek itu malah menyeretnya ke dalam kamar itu. Sinta berteriak-teriak. Namun sang nenek sangat kuat.
"Kau harus membayar sikapmu!" teriak Nenek keras. "Tak ada yang mendengar teriakanmu Sinta, hahahah."
"Jangan Nek. Jangan!" Sinta berurai air mata. Ia berada di sebelah mayat yang sudah tanpa kepala, tangan dan kaki.
"Jika kau kubiarkan hidup, kau akan mengganggu acaraku." Nenek menarik Sinta dan mengikatnya di tiang ulin. Merobek semua baju Sinta hingga tak ada benang sehelai pun.
BLAK ...! Tangan kanan Sinta dipotong. Belum sempat Sinta berteriak, tangan itu sudah tersumpal di mulutnya.
"Diam! Ini untuk mulutmu yang berisik itu." Nenek memaki tak henti-henti. Mata Sinta mendelik, tersedak tangannya sendiri. Sedangkan darah terus mengucur, Sinta mulai kehilangan tenaga dan pasrah.
Nenek memandang tubuh Sinta dengan tatapan penuh arti, seakan-akan Sinta adalah sesuatu yang berharga untuknya.
"Dengar sayang, ini tak akan sakit. Kau jangan takut ya anak manis. Aku hanya akan mengambil dagingmu pelan-pelan," ujar Nenek seraya mulai menyayat tubuh mulus Sinta.
Sinta mulai kehabisan darah, matanya berkunang-kunang. Pusing oleh bau anyir darahnya sendiri yang menggenang di lantai.
Terakhir yang dia lihat, sang nenek memotong kedua kakinya dan diacungkan tinggi-tinggi di depan matanya.
"Hahaha, kau memang sangat berharga untukku, Sinta. Dengan memakan dagingmu genap sudah aku memakan 7 mayat dan akan hidup abadi selamanya."
Dengan bersenandung riang, sang nenek mulai memasukkan potongan-potongan daging Sinta ke dalam sebuah panci besar di atas tungku.
TAMAT
[PHD] HANDSOME NEIGHBOR
Negibberae Queen & Nova Aditya Nugraha
Abby, gadis manis dengan lesung pipi yang nampak jelas, kala ia tersenyum itu, nampak tengah memperhatikan rumah tetangganya yang bergaya minimalis, sembari sesekali mengelus bulu halusboneka Beruang sedang, bermata satu yang berada di pangkuannya.
Matanya yang teduh, dengan manik biru cantik dilengkapi dengan bulu mata lebat dan lentik itu, tak pernah lepas dari objek yang begitu menarik perhatiannya, di serambi rumah tetangganya tersebut.
"Aku suka dia," kata Abby, menatap seorang pria yang telah menjadi objek pengamatannya beberapa minggu belakangan ini.
Abby masih terus mengamati pria berpostur tubuh kekar tersebut, dengan senyuman manis yang tak pernah terlepas dari bibir tipisnya.
Sejenak Abby mengalihkan perhatiannya dari pria tersebut, lalu mengangkat boneka kesayangannya, hingga berhadapan langsung dengan wajah cantiknya. "Aku ingin pria itu menjadi milikku."
Abby terus berbicara dengan boneka kesayangannya, seolah-olah boneka itu bisa mengimbangi, dan membalas setiap ucapannya.
Dielusnya bulu halus boneka yang berada digenggamannya, sembari menatap lekat wajah boneka itu dengan tatapan sendu.
***
Minggu sore dengan awan hitam yang menggantung rendah di langit, tak menyurutkan tekat Abby, untuk melangkahkan kakinya menuju rumah tetangganya, yang berada tepat di depan rumahnya tersebut.
Tersenyum lebar, Abby menekan bel yang berada di sebelah kanan tembok dekat pintu rumah tersebut.
Tak seberapa lama, akhirnya pintu yang sedaritadi menutup kini terbuka, dan menampikan seorang pria dengan tubuh tegap berisi, dengan otot-otot yang tercetak jelas dari balik kaos putih polos yang dikenakannya.
Tanpa sadar Abby menahan nafas, saat melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya kini. Mata Abby tak sedikit pun lepas dari mata abu-abu terang, milik pria pujaannya tersebut.
Alis pria pemilik manik abu-abu itu sedikit terangkat, melihat Abby yang terus memandangnya dengan tatapan memuja.
Pria itu mengenali Abby sebagai tetanggannya, karena beberapa kali ia mendapati Abby memperhatikannya, di balkon kamar atau serambi rumah gadis tersebut.
"Kau... ada perlu apa?" tanya sang pria dengan suara rendah--namun jelas.
Abby terkesiap, "Ah, maaf. Namaku Abby, bolehkah aku sejenak bertamu?" Abby tersenyum lebar, diikuti uluran tangannya yang seputih kapas.
"Tentu saja, tak ada larangan untuk gadis secantik dirimu masuk rumahku. Dan... namaku Sammy," balas pria berwajah menarik di hadapan Abby sembari mengisyaratkan untuk masuk.
Kaki jenjang Abby melangkah masuk rumah bernuansa putih. Ruang tamunya tampak sederhana namun sedap dipandang mata. Ada tiga sofa--satu panjang dan dua lainnya pendek--serta sebuah meja kaca cukup panjang di sana, sebuah vas bunga bertengger anggun di atasnya.
Dinding-dindingnya yang putih memamerkan beberapa lukisan dan foto pribadi milik Sammy. Aroma lavender menyergap ketika sepasang kaki Abby melangkah di atas keramik berwarna senada.
"Duduklah," ujar Sammy lembut. Pria berkumis tipis itu kembali mengukir senyum setelah melihat Abby tampak begitu nyaman berada di rumahnya.
"Oh, ya. Baiklah... terimakasih," jawab Abby sembari melangkahkan kakinya menuju sofa berwarna krem lima langkah di depannya.
Sepasang iris kebiruan milik Abby tak henti menyapu ruangan yang cukup luas itu--mungkin sekitar lima kali empat meter. Tepat di belakang ruang tamu terdapat dapur yang hanya tersekat sebuah tirai. Ada pula sebuah tangga menuju lantai dua, kamar pribadi Sam. Ada dua ruangan tertutup di area ruang tamu. Bisa jadi itu adalah kamar tamu.
"Kau terlihat merasa nyaman di rumahku, benarkah begitu?" tanya Sammy sambil menyuguhkan segelas pome juice pada gadis beriris kebiruan yang tampak sedikit terkejut karena kedatangannya.
"Ah, begitulah," balas Abby malu-malu. "Rumahku tak senyaman ini, dan kau adalah seorang pria. Sangat mengagumkan," tambah Abby diiringi sebuah kerlingan mata.
"Itu terlalu berlebihan," sergah Sammy sembari meletakkan tubuhnya di atas sofa. "Aku hanya merawatnya saja."
Kemudian keduanya tertawa bersamaan. Sammy memang termasuk orang baru di lingkungan Abby. Namun karena sikapnya yang ramah, ia dapat dengan mudah mengambil hati tetangga sekitarnya--termasuk Abby.
"Oh, ya...," Sammy membuka suara setelah beberapa detik mereka diam dan menikmati pome juice, "apa yang membuatmu bertamu ke sini? Adakah kau perlu bantuan?"
Abby menepuk jidatnya pelan, lalu mengangguk perlahan. "Hampir saja aku lupa. Aku sendirian di rumah. Sebelum ke sini, aku mendengar suara seperti hubungan pendek arus listrik, dan kemudian... listrik di rumahku padam. Bisakah kau membantuku mengatasinya?"
"Hubungan pendek, ya?" balas Sammy sambil memainkan telunjuk di dagunya. "Kurasa kita bisa melihatnya terlebih dulu."
"Begitukah? Syukurlah kalau kau bersedia membantu," Abby melempar senyum formal.
"Bukankah sesama tetangga harus saling membantu? Sammy mengerlingkan matanya, kemudian memberi isyarat pada Abby untuk segera beranjak pergi bersama.
***
Abby dan Sammy kini telah berada di depan pintu rumah Abby. Secara perlahan, Abby membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan lelaki tampan--tetangga di seberang rumahnya tersebut untuk masuk ke dalam.
Benar saja, sesampainya di dalam rumah tersebut, kesan temaram karena tak adanya pencayahan dari lampu langsung menyergap mereka.
"Oke, Abby. Bisakah kau menunjukkan di mana pengatur listrik di rumah ini berada?" tanya Sammy sesaat setelah kedua kaki panjangnya memasuki rumah itu
"Tentu, ikut aku!"
Tanpa perlu repot menjawab, Sammy langsung mengikuti Abby yang berjalan menembus ruangan yang nampak gelap tersebut.
Sesampainya mereka di tempat tujuan, yang mana berada di bagian belakang rumah Abby.
"Ummm... Sammy, apa bisa kau menungguku di sini sebentar? Aku akan mengambil lilin, agar memudahkanmu mengetahui apa yang terjadi dengan listrik rumahku," kata Abby.
"Oh, tentu saja," timpal Sammy lalu tersenyum simpul, namun masih dapat dilihat oleh Abby, di tengah temaram yang mulai berubah menjadi lebih gelap itu.
Selepas kepergian Abby, Sammy berniat mengecek meteran listrik yang berada di tembok samping pintu belakang yang tadi dilewatinya bersama Abby. Namun belum sempat pria pemilik iris abu-abu itu melangkah, sesuatu yang keras memukul telak kepala bagian belakangnya, dan langsung membuat pria itu ambruk dalam hitungan detik.
***
Sebuah seringai keji, tercetak jelas di bibir raum kemerahan, yang sangat kontras dengan wajah cantik dan manis milik Abby.
Di tangannya, tergenggam erat sebuah balok kayu berukuran besar yang telah ia siapkan sedari awal.
Sementara di hadapannya, tubuh Sammy tergeletak tak berdaya, dengan genangan cairan pekat ber-aromakan karat dan logam di sekeliling kepalanya yang nampak retak, karena pukulan bertubi yang dilayangkan Abby.
Tak ada lagi tatapan hangat nan memukau dari pemilik iris abu-abu itu. Yang tinggal hanyalah kekosongan, dan kehampaan tiada tara, yang menandakan tak ada lagi jiwa yang bersemayam dalam tubuh kaku tersebut.
"Lelaki bodoh, yang begitu mudah masuk dalam perangkapku," cibir Abby sinis.
Menghidupkan kembali listrik yang secara sengaja dimatikannya, Abby lalu membuang asal balok yang daritadi digenggamnya ke sembarang arah. Setelah itu, gadis cantik yang dikeliling aura kelam itu mulai menyeret jasad Sammy, menuju ke sebuah ruangan besar namun pengap, yang lebih cocok disebut tempat pejagalan.
Bagaimana tidak? Ruangan tersebut penuh dengan berbagai macam dan jenis alat potong, yang mampu membuat siapa saja bergidik ngeri bila melihatnya.
"Well, sebaiknya aku segera mengambil apa yang kuincar," gumam Abby datar.
Abby lalu memilah beberapa benda, dari bersusun-susun benda tajam di ruangan tersebut.
Setelah mendapat apa yang dirasanya cocok, gadis itu langsung mendekati mayat Sammy yang tergeletak di lantai, dan mulai melancarkan aksinya.
Dimulai dengan sayatan-sayatan kecil di wajah pucat Sammy, Abby lalu menguliti secara perlahan kulit rupawan Sammy menggunakan pisau berukuran sedang yang berkilat tajam, dengan mudah, bagai seorang penjagal yang telah ahli dalam bidangnya.
Siapa yang sangka, gadis cantik yang nampak lembut dari luar itu, memiliki keahlian untuk menjadi penjagal yang tak pernah terfikirkan oleh siapa saja.
Beralih ke topik yang seharusnya. Puas menguliti kulit wajah Sammy, hingga menyisahkan daging segar kemerahan, Abby lalu mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang telah menjadi incaran awalnya.
Berbekal pisau berujung lancip dan tajam, yang sedikit lebih kecil dari pisau yang ia gunakan sebelumnya, Abby mulai menusuk dan mengoyak daging di seputaran mata Sammy.
Perpaduan karat dan loga, khas bau darah yang menyengat, seolah menjadi aroma pembangkit energi tersendiri bagi Abby. Ia sangat suka cita rasa dan bau darah, yang merembes keluar dari setiap jengkal tubuh korban-korbannya.
"Aha! Dapat," seru Abby datar.
Di tangannya, Abby membawa dengan hati-hati sebuah benda, berupa bola kecil berwarna putih mendominasi berceceran darah, dengan iris Abu-abu yang sedikit menggelap menuju ke sebuah sudut ruangan, yang mana terdapat sebuah kursi empuk, berisi sebuah boneka beruang coklat, yang hanya memiliki satu mata, di sebelah kiri.
"Lihat! Aku membawakan mata baru untukmu, Bear. Jadi kau bisa melihat dengan normal lagi, setelah aku memasangkan mata indah milik pria tampan bodoh, yang kebetulan menjadi tetangga kita ini, menggantikan matamu yang rusak itu. Hahaha!" Abby tertawa gila.
Gadis cantik yang berlumuran darah itu, memulai usahanya memasangkan bola mata milik Sammy, pada boneka kesayangannya tersebut.
"Selesai. Sekarang, tinggal mengganti sebelah telingamu yang robek itu dengan yang baru," kata Abby, mengamati boneka beruang yang ia namakan Bear tersebut.
"Oh, dan ingatkan aku untuk mengintai rumah tetangga kita yang lain, untuk mencari sebelah telinga yang cocok, untuk mu, Bear," kata Abby lagi, lalu menarik ujung bibirnya ke atas, menampilkan seingai keji dan bengisnya lagi.
"Tentu, Abby sayang. Carikan aku anggota tubuh mereka, untuk mengganti tubuhku yang sekarang, dengan fisik tubuh yang baru," timpal Bear--boneka beruang milik Abby tersebut, lalu membalas seringai Abby dengan seringainya yang tak kalah keji.
TAMAT
Matanya yang teduh, dengan manik biru cantik dilengkapi dengan bulu mata lebat dan lentik itu, tak pernah lepas dari objek yang begitu menarik perhatiannya, di serambi rumah tetangganya tersebut.
"Aku suka dia," kata Abby, menatap seorang pria yang telah menjadi objek pengamatannya beberapa minggu belakangan ini.
Abby masih terus mengamati pria berpostur tubuh kekar tersebut, dengan senyuman manis yang tak pernah terlepas dari bibir tipisnya.
Sejenak Abby mengalihkan perhatiannya dari pria tersebut, lalu mengangkat boneka kesayangannya, hingga berhadapan langsung dengan wajah cantiknya. "Aku ingin pria itu menjadi milikku."
Abby terus berbicara dengan boneka kesayangannya, seolah-olah boneka itu bisa mengimbangi, dan membalas setiap ucapannya.
Dielusnya bulu halus boneka yang berada digenggamannya, sembari menatap lekat wajah boneka itu dengan tatapan sendu.
***
Minggu sore dengan awan hitam yang menggantung rendah di langit, tak menyurutkan tekat Abby, untuk melangkahkan kakinya menuju rumah tetangganya, yang berada tepat di depan rumahnya tersebut.
Tersenyum lebar, Abby menekan bel yang berada di sebelah kanan tembok dekat pintu rumah tersebut.
Tak seberapa lama, akhirnya pintu yang sedaritadi menutup kini terbuka, dan menampikan seorang pria dengan tubuh tegap berisi, dengan otot-otot yang tercetak jelas dari balik kaos putih polos yang dikenakannya.
Tanpa sadar Abby menahan nafas, saat melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya kini. Mata Abby tak sedikit pun lepas dari mata abu-abu terang, milik pria pujaannya tersebut.
Alis pria pemilik manik abu-abu itu sedikit terangkat, melihat Abby yang terus memandangnya dengan tatapan memuja.
Pria itu mengenali Abby sebagai tetanggannya, karena beberapa kali ia mendapati Abby memperhatikannya, di balkon kamar atau serambi rumah gadis tersebut.
"Kau... ada perlu apa?" tanya sang pria dengan suara rendah--namun jelas.
Abby terkesiap, "Ah, maaf. Namaku Abby, bolehkah aku sejenak bertamu?" Abby tersenyum lebar, diikuti uluran tangannya yang seputih kapas.
"Tentu saja, tak ada larangan untuk gadis secantik dirimu masuk rumahku. Dan... namaku Sammy," balas pria berwajah menarik di hadapan Abby sembari mengisyaratkan untuk masuk.
Kaki jenjang Abby melangkah masuk rumah bernuansa putih. Ruang tamunya tampak sederhana namun sedap dipandang mata. Ada tiga sofa--satu panjang dan dua lainnya pendek--serta sebuah meja kaca cukup panjang di sana, sebuah vas bunga bertengger anggun di atasnya.
Dinding-dindingnya yang putih memamerkan beberapa lukisan dan foto pribadi milik Sammy. Aroma lavender menyergap ketika sepasang kaki Abby melangkah di atas keramik berwarna senada.
"Duduklah," ujar Sammy lembut. Pria berkumis tipis itu kembali mengukir senyum setelah melihat Abby tampak begitu nyaman berada di rumahnya.
"Oh, ya. Baiklah... terimakasih," jawab Abby sembari melangkahkan kakinya menuju sofa berwarna krem lima langkah di depannya.
Sepasang iris kebiruan milik Abby tak henti menyapu ruangan yang cukup luas itu--mungkin sekitar lima kali empat meter. Tepat di belakang ruang tamu terdapat dapur yang hanya tersekat sebuah tirai. Ada pula sebuah tangga menuju lantai dua, kamar pribadi Sam. Ada dua ruangan tertutup di area ruang tamu. Bisa jadi itu adalah kamar tamu.
"Kau terlihat merasa nyaman di rumahku, benarkah begitu?" tanya Sammy sambil menyuguhkan segelas pome juice pada gadis beriris kebiruan yang tampak sedikit terkejut karena kedatangannya.
"Ah, begitulah," balas Abby malu-malu. "Rumahku tak senyaman ini, dan kau adalah seorang pria. Sangat mengagumkan," tambah Abby diiringi sebuah kerlingan mata.
"Itu terlalu berlebihan," sergah Sammy sembari meletakkan tubuhnya di atas sofa. "Aku hanya merawatnya saja."
Kemudian keduanya tertawa bersamaan. Sammy memang termasuk orang baru di lingkungan Abby. Namun karena sikapnya yang ramah, ia dapat dengan mudah mengambil hati tetangga sekitarnya--termasuk Abby.
"Oh, ya...," Sammy membuka suara setelah beberapa detik mereka diam dan menikmati pome juice, "apa yang membuatmu bertamu ke sini? Adakah kau perlu bantuan?"
Abby menepuk jidatnya pelan, lalu mengangguk perlahan. "Hampir saja aku lupa. Aku sendirian di rumah. Sebelum ke sini, aku mendengar suara seperti hubungan pendek arus listrik, dan kemudian... listrik di rumahku padam. Bisakah kau membantuku mengatasinya?"
"Hubungan pendek, ya?" balas Sammy sambil memainkan telunjuk di dagunya. "Kurasa kita bisa melihatnya terlebih dulu."
"Begitukah? Syukurlah kalau kau bersedia membantu," Abby melempar senyum formal.
"Bukankah sesama tetangga harus saling membantu? Sammy mengerlingkan matanya, kemudian memberi isyarat pada Abby untuk segera beranjak pergi bersama.
***
Abby dan Sammy kini telah berada di depan pintu rumah Abby. Secara perlahan, Abby membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan lelaki tampan--tetangga di seberang rumahnya tersebut untuk masuk ke dalam.
Benar saja, sesampainya di dalam rumah tersebut, kesan temaram karena tak adanya pencayahan dari lampu langsung menyergap mereka.
"Oke, Abby. Bisakah kau menunjukkan di mana pengatur listrik di rumah ini berada?" tanya Sammy sesaat setelah kedua kaki panjangnya memasuki rumah itu
"Tentu, ikut aku!"
Tanpa perlu repot menjawab, Sammy langsung mengikuti Abby yang berjalan menembus ruangan yang nampak gelap tersebut.
Sesampainya mereka di tempat tujuan, yang mana berada di bagian belakang rumah Abby.
"Ummm... Sammy, apa bisa kau menungguku di sini sebentar? Aku akan mengambil lilin, agar memudahkanmu mengetahui apa yang terjadi dengan listrik rumahku," kata Abby.
"Oh, tentu saja," timpal Sammy lalu tersenyum simpul, namun masih dapat dilihat oleh Abby, di tengah temaram yang mulai berubah menjadi lebih gelap itu.
Selepas kepergian Abby, Sammy berniat mengecek meteran listrik yang berada di tembok samping pintu belakang yang tadi dilewatinya bersama Abby. Namun belum sempat pria pemilik iris abu-abu itu melangkah, sesuatu yang keras memukul telak kepala bagian belakangnya, dan langsung membuat pria itu ambruk dalam hitungan detik.
***
Sebuah seringai keji, tercetak jelas di bibir raum kemerahan, yang sangat kontras dengan wajah cantik dan manis milik Abby.
Di tangannya, tergenggam erat sebuah balok kayu berukuran besar yang telah ia siapkan sedari awal.
Sementara di hadapannya, tubuh Sammy tergeletak tak berdaya, dengan genangan cairan pekat ber-aromakan karat dan logam di sekeliling kepalanya yang nampak retak, karena pukulan bertubi yang dilayangkan Abby.
Tak ada lagi tatapan hangat nan memukau dari pemilik iris abu-abu itu. Yang tinggal hanyalah kekosongan, dan kehampaan tiada tara, yang menandakan tak ada lagi jiwa yang bersemayam dalam tubuh kaku tersebut.
"Lelaki bodoh, yang begitu mudah masuk dalam perangkapku," cibir Abby sinis.
Menghidupkan kembali listrik yang secara sengaja dimatikannya, Abby lalu membuang asal balok yang daritadi digenggamnya ke sembarang arah. Setelah itu, gadis cantik yang dikeliling aura kelam itu mulai menyeret jasad Sammy, menuju ke sebuah ruangan besar namun pengap, yang lebih cocok disebut tempat pejagalan.
Bagaimana tidak? Ruangan tersebut penuh dengan berbagai macam dan jenis alat potong, yang mampu membuat siapa saja bergidik ngeri bila melihatnya.
"Well, sebaiknya aku segera mengambil apa yang kuincar," gumam Abby datar.
Abby lalu memilah beberapa benda, dari bersusun-susun benda tajam di ruangan tersebut.
Setelah mendapat apa yang dirasanya cocok, gadis itu langsung mendekati mayat Sammy yang tergeletak di lantai, dan mulai melancarkan aksinya.
Dimulai dengan sayatan-sayatan kecil di wajah pucat Sammy, Abby lalu menguliti secara perlahan kulit rupawan Sammy menggunakan pisau berukuran sedang yang berkilat tajam, dengan mudah, bagai seorang penjagal yang telah ahli dalam bidangnya.
Siapa yang sangka, gadis cantik yang nampak lembut dari luar itu, memiliki keahlian untuk menjadi penjagal yang tak pernah terfikirkan oleh siapa saja.
Beralih ke topik yang seharusnya. Puas menguliti kulit wajah Sammy, hingga menyisahkan daging segar kemerahan, Abby lalu mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang telah menjadi incaran awalnya.
Berbekal pisau berujung lancip dan tajam, yang sedikit lebih kecil dari pisau yang ia gunakan sebelumnya, Abby mulai menusuk dan mengoyak daging di seputaran mata Sammy.
Perpaduan karat dan loga, khas bau darah yang menyengat, seolah menjadi aroma pembangkit energi tersendiri bagi Abby. Ia sangat suka cita rasa dan bau darah, yang merembes keluar dari setiap jengkal tubuh korban-korbannya.
"Aha! Dapat," seru Abby datar.
Di tangannya, Abby membawa dengan hati-hati sebuah benda, berupa bola kecil berwarna putih mendominasi berceceran darah, dengan iris Abu-abu yang sedikit menggelap menuju ke sebuah sudut ruangan, yang mana terdapat sebuah kursi empuk, berisi sebuah boneka beruang coklat, yang hanya memiliki satu mata, di sebelah kiri.
"Lihat! Aku membawakan mata baru untukmu, Bear. Jadi kau bisa melihat dengan normal lagi, setelah aku memasangkan mata indah milik pria tampan bodoh, yang kebetulan menjadi tetangga kita ini, menggantikan matamu yang rusak itu. Hahaha!" Abby tertawa gila.
Gadis cantik yang berlumuran darah itu, memulai usahanya memasangkan bola mata milik Sammy, pada boneka kesayangannya tersebut.
"Selesai. Sekarang, tinggal mengganti sebelah telingamu yang robek itu dengan yang baru," kata Abby, mengamati boneka beruang yang ia namakan Bear tersebut.
"Oh, dan ingatkan aku untuk mengintai rumah tetangga kita yang lain, untuk mencari sebelah telinga yang cocok, untuk mu, Bear," kata Abby lagi, lalu menarik ujung bibirnya ke atas, menampilkan seingai keji dan bengisnya lagi.
"Tentu, Abby sayang. Carikan aku anggota tubuh mereka, untuk mengganti tubuhku yang sekarang, dengan fisik tubuh yang baru," timpal Bear--boneka beruang milik Abby tersebut, lalu membalas seringai Abby dengan seringainya yang tak kalah keji.
TAMAT
Yuk, bareng-bareng kita baca dan memberikan apresiasi kepada dua pasangan yang telah menunjukkan profesionalismenya dengan menghasilkan karya tepat pada waktu yang telah ditentukan. Apresiasi dapat berupa saran dan kritik yang membangun, agar penulis menjadi lebih bersemangat lagi dalam menghasilkan karya. Enjoy dan sampai bertemu di Parade Duet edisi berikutnya.
No comments:
Post a Comment
Selamat datang para pengunjung. Bebaskan dirimu dalam berekspresi menggunakan kata-kata selama sopan dan tidak mengandung SARA. Apakah artikel ini menarik bagimu? Silahkan meninggalkan opini, pesan, dan kesan di kolom komentar.
- Admin -