Hari Senin selalu menjadi hari penuh semangat di Makam Panchake. Betapa tidak? Karena hari tersebut selalu rutin diadakan Parade Cerpen Bebas, yang mana semua Hantu diperbolehkan berekspresi melalui karya ciptaannya tanpa dibatasi oleh genre. Yes, apa pun boleh, dan temanya juga bebas. Berikut ini adalah karya-karya Para Hantu yang telah berhasil didata oleh Penjaga Makam.
THE POWER OF 21.000
Ulva Istikhoh
Slice of Life
Aku mengecek kembali tas ranselku, memastikan bahwa barang yang dibutuhkan tidak ada yang ketinggalan. Segera kubergegas menuju bus tempat rombongan berkumpul.
"Sudah siap semuanya?" seru pemimpin kami dalam perjalanan.
Semua peserta rombongan berebut masuk ke dalam bus. Setelah lengkap, rombongan bus kami pun siap untuk diberangkatkan.
Aku memilih duduk di bangku nomor dua belakang supir, paling kanan dekat jendela. Sambil sesekali melihat pemandangan ke luar, bayanganku masih terpaku mengenai gathering. Tidak sabar rasanya mengikuti serangkaian acaranya.
Menikmati dinginnya puncak Bogor, serunya bermain outbond di tengah hamparan alam yang indah.
'Aaah ... ingin sekali aku menikmati itu semua,' gumamku.
Kejenuhan dalam bekerja memang seharusnya dibayar dengan refreshing, agar semangat bisa pulih kembali.
***
Perjalanan yang tidak terlalu membutuhkan waktu cukup lama. Jarak Tangerang-Bogor kurang lebih hanya berkisar 3 jam saja. Apalagi kalau tidak macet dan melewati tol.
Kemegahan gedung Hotel Yasmine telah menyapa kami. Suasananya yang asri dengan tatanannya yang apik membuat tempat tersebut tampak cantik.
Pemimpin kami pun memberi arahan. Semua rombongan bus dari berbagai kota berkumpul jadi satu di Aula. Serangkaian acara selama kami 3 hari di sini segera diumumkan.
Betapa aku tercengang. Semua tak seindah seperti bayanganku. Kami di bagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 1 ketua dan 8 anggota. Kekompakan sangat dibutuhkan di sini. Setiap jam makan, mandi, tidur semuanya telah ditentukan berapa menitnya. Disiplin dan ketepatan waktu menjadi suatu hal yang paling mahal. Karena sedikit saja melanggar, terkena denda yang harus dibayar. Bukan berlaku individual melainkan kelompok. Jika salah satu anggota ada yang melanggar, semua anggota yang lain pun kena imbasnya.
"Haaah," aku merebahkan tubuhku ke kasur setelah pembagian kamar sudah diatur.
"Kamu nggak mandi dulu, Va?" tanya Irma teman satu kamarku. Ada tiga orang dalam sekamar kami, yaitu aku, Irma, dan Putri.
"Kamu duluan aja deh, Ir," jawabku.
Rasanya ingin melepas lelah sebentar setelah melewati jalanan berkelok yang hampir buatku mual.
Namun waktu cepat sekali menunjukkan jam 5. Sementara jam 6 sore kita harus turun ke bawah untuk kembali berkumpul. Jangankan untuk memejamkan mata sekejap saja, satu kamar bertiga membuat kita harus bergantian untuk mandi.
Hari pertama bisa dibilang team kami lancar. Tidak ada yang terlambat dan mengikuti rangkaian acara malam itu dengan tertib. Walaupun kami harus menahan rasa kantuk karena acaranya berlangsung hingga larut malam sampai pagi.
Jam 4 pagi tepatnya kami baru diperbolehkan kembali ke kamar. Namun jam 6 pagi harus kembali lagi berkumpul.
"Kalau kayak gini ceritanya kita sih nggak bakalan sempet buat tidur," celoteh Putri.
"Iya, kita cuma punya waktu 2 jam. Aku takut aja kalau nanti maksa tidur kita malah jadi kesiangan," timpal Irma. Aku hanya mengangguk menyetujui.
Akhirnya dari kami tidak ada yang tidur. Lebih mempersiapkan diri untuk kembali mengikuti acara jam 6 pagi yang diawali dengan senam bersama nanti.
***
Hawa dingin suasana puncak yang menyelimuti dengan mata panda karena kurang tidur tak menyurutkan semangat kami. Kami siap untuk mengikuti rangkaian acara di hari yang kedua.
Lagi dan lagi, harapanku tentang outbond kandas. Kegiatan tetap dilaksanakan dalam gedung. Para leader dan pemandu acara lebih memberikan permainan yang berhubungan dengan pembekalan kerja. Rasanya mustahil bisa menikmati sejuknya pemandangan di luat sana.
Makan bersama, sholat berjamaah, mendengarkan ceramah, diskusi, kembali ke kamar untuk mengantri mandi. Begitulah serangkaian acara yang kami ikuti.
Kamar yang cukup mewah di lantai dua itu seolah hanya menjadi persinggahan semata. Karena tak ada waktu untuk tidur di sana.
"Kira-kira hari terakhir besok acaranya apa ya?" tanyaku pada teman-teman.
"Semoga saja lebih menyenangkan," jawab Irma dan Putri kompak.
Kami bertiga hanya bisa merebahkan diri sementara di kasur. Dua hari sudah kami tidak bisa tidur.
***
Hari terakhir kami di Hotel Yasmine.
Kali ini kegiatan kami diawali dengan lari pagi mengelilingi hotel. Setelahnya baru makan pagi bersama.
Kembali kami semua dikumpulkan seperti biasa di ruang Aula. Pemandu acara memberikan arahan ke kami. Kali ini adalah sebuah tantangan.
Setiap dari kami diberi waktu 2 jam untuk bisa kembali membawa uang Rp 5.000,00. Dompet, atm, hp semua di sita. Hanya bermodal baju yang dikenakan saja, kami harus ke luar dari hotel untuk mendapatkan uang tersebut. Bagaimanapun caranya leader tidak peduli, asalkan itu halal dan tidak meminta-minta.
Aku berpikir sejenak, 'apa yang harus kulakukan? Aku aja tidak terlalu kenal daerah sini.'
Akhirnya kukumpulkan segenap keberanianku untuk menyambangi rumah penduduk. Aku berjalan sendiri tanpa memedulikan teman-temanku. Yang ada dalam pikiranku aku pasti bisa dapatkan uang itu.
Satu per satu rumah warga kuketuk menawarkan jasaku.
"Permisi Ibu, boleh saya bantu nyuci bajunya ya, Bu?" tanyaku menghampiri salah satu warga yang tengah memompa air di samping rumah.
"Maaf, Neng, nggak usah. Ibu teh udah biasa nyuci sendiri," jawab si Ibu yang memandangiku dengan raut wajah bingung.
Aku tak menyerah, kembali kumenghampiri warga di sekitar Hotel Yasmine tersebut. Terlihat ada bapak-bapak yang hendak mencuci mobilnya.
"Persimi, Pak, saya lagi butuh kerjaan. Boleh ya Pak saya bantu nyuci mobilnya?" aku mencoba menawarkan diri.
"Punten, Neng, emang bisa nyuci mobil? Jangan atuh, nggak usah ya," kembali penolakan menghampiriku.
Aku kembali berjalan menyusuri pemukiman. Mengetuk pintu ke pintu untuk menawarkan diri bekerja apa saja, menyapu, mengepel, cuci piring atau baju aku siap. Dibayar berapa pun aku terima, tapi lagi-lagi penolakan yang selalu kuterima.
Hingga akhirnya perjalananku sampai ke sebuah ruko-ruko. Aku kembali mengetuk pintu ke pintu menawarkan jasaku. Hanya demi uang Rp 5.000,00. Agar bisa kembali ke hotel.
Beberapa dari teman-teman kulihat ada yang menjadi kuli panggul, pedagang asongan, ada juga yang kerja di rumah makan.
Aku menyeka keringatku, dari tadi belum satu pun yang mau menerimaku. Sementara sudah ada 1 jam aku berjalan menyusuri.
Bogor yang biasanya hujan, hari ini cuacanya begitu panas. Membuat aku yang sedari tadi berjalan merasa kehausan. Tapi sepeserpun uang aku tak pegang. Kembali lagi aku hanya bisa menyeka keringatku.
Aku terus berjalan mencari peluang. Hingga akhirnya sebuah mobil bak terbuka berhenti di depanku. Mobil yang memuat barang elektronik itu akan dibersihkan. Barang-barangnya telah diturunkan. Aku menawarkan diri untuk membantu mengumpulkan potongan-potongan kardus yang tersisa dan menggulung tali pengikatnya.
Sungguh beruntung, pekerjaan yang cukup ringan tapi mau membayarku sebesar Rp 10.000,00. Senyumku mengembang, kutengok jam masih ada waktu yang tersisa.
Kembali lagi aku mencari kerja meski uang yang kudapat telah melebihi target. Bukankah melebihi itu lebih bagus?
Kali ini yang kunjungi adalah perkebunan. Benar saja, aku tak susah untuk mendapatkannya. Kutawarkan jasaku untuk membantu memilihkan bunga. Sang pemilik kebun membayarku Rp 5.000,00 dan pembeli juga memberiku Rp 6.000,00.
Waktu sudah hampir habis. Total uang yang kudapatkan melebihi target yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 21.000,00.
Banyak sekali pelajaran yang kudapat dari situ. Bahwa untuk sukses, kita harus memulainya dari bawah. Jangan pernah malu dengan apapun yang kita kerjakan, selama itu halal. Tidak ada rumus kesuksesan selain kerja keras dan pantang menyerah.
Tentang uang. Terkadang kita hanya mengukur dari nominalnya. Padahal mau seberapa pun besarnya uang tergantung kita yang memanagenya. Seperti uang Rp 21.000,00 yang kudapatkan bagiku sangat berharga.
"Sudah siap semuanya?" seru pemimpin kami dalam perjalanan.
Semua peserta rombongan berebut masuk ke dalam bus. Setelah lengkap, rombongan bus kami pun siap untuk diberangkatkan.
Aku memilih duduk di bangku nomor dua belakang supir, paling kanan dekat jendela. Sambil sesekali melihat pemandangan ke luar, bayanganku masih terpaku mengenai gathering. Tidak sabar rasanya mengikuti serangkaian acaranya.
Menikmati dinginnya puncak Bogor, serunya bermain outbond di tengah hamparan alam yang indah.
'Aaah ... ingin sekali aku menikmati itu semua,' gumamku.
Kejenuhan dalam bekerja memang seharusnya dibayar dengan refreshing, agar semangat bisa pulih kembali.
***
Perjalanan yang tidak terlalu membutuhkan waktu cukup lama. Jarak Tangerang-Bogor kurang lebih hanya berkisar 3 jam saja. Apalagi kalau tidak macet dan melewati tol.
Kemegahan gedung Hotel Yasmine telah menyapa kami. Suasananya yang asri dengan tatanannya yang apik membuat tempat tersebut tampak cantik.
Pemimpin kami pun memberi arahan. Semua rombongan bus dari berbagai kota berkumpul jadi satu di Aula. Serangkaian acara selama kami 3 hari di sini segera diumumkan.
Betapa aku tercengang. Semua tak seindah seperti bayanganku. Kami di bagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 1 ketua dan 8 anggota. Kekompakan sangat dibutuhkan di sini. Setiap jam makan, mandi, tidur semuanya telah ditentukan berapa menitnya. Disiplin dan ketepatan waktu menjadi suatu hal yang paling mahal. Karena sedikit saja melanggar, terkena denda yang harus dibayar. Bukan berlaku individual melainkan kelompok. Jika salah satu anggota ada yang melanggar, semua anggota yang lain pun kena imbasnya.
"Haaah," aku merebahkan tubuhku ke kasur setelah pembagian kamar sudah diatur.
"Kamu nggak mandi dulu, Va?" tanya Irma teman satu kamarku. Ada tiga orang dalam sekamar kami, yaitu aku, Irma, dan Putri.
"Kamu duluan aja deh, Ir," jawabku.
Rasanya ingin melepas lelah sebentar setelah melewati jalanan berkelok yang hampir buatku mual.
Namun waktu cepat sekali menunjukkan jam 5. Sementara jam 6 sore kita harus turun ke bawah untuk kembali berkumpul. Jangankan untuk memejamkan mata sekejap saja, satu kamar bertiga membuat kita harus bergantian untuk mandi.
Hari pertama bisa dibilang team kami lancar. Tidak ada yang terlambat dan mengikuti rangkaian acara malam itu dengan tertib. Walaupun kami harus menahan rasa kantuk karena acaranya berlangsung hingga larut malam sampai pagi.
Jam 4 pagi tepatnya kami baru diperbolehkan kembali ke kamar. Namun jam 6 pagi harus kembali lagi berkumpul.
"Kalau kayak gini ceritanya kita sih nggak bakalan sempet buat tidur," celoteh Putri.
"Iya, kita cuma punya waktu 2 jam. Aku takut aja kalau nanti maksa tidur kita malah jadi kesiangan," timpal Irma. Aku hanya mengangguk menyetujui.
Akhirnya dari kami tidak ada yang tidur. Lebih mempersiapkan diri untuk kembali mengikuti acara jam 6 pagi yang diawali dengan senam bersama nanti.
***
Hawa dingin suasana puncak yang menyelimuti dengan mata panda karena kurang tidur tak menyurutkan semangat kami. Kami siap untuk mengikuti rangkaian acara di hari yang kedua.
Lagi dan lagi, harapanku tentang outbond kandas. Kegiatan tetap dilaksanakan dalam gedung. Para leader dan pemandu acara lebih memberikan permainan yang berhubungan dengan pembekalan kerja. Rasanya mustahil bisa menikmati sejuknya pemandangan di luat sana.
Makan bersama, sholat berjamaah, mendengarkan ceramah, diskusi, kembali ke kamar untuk mengantri mandi. Begitulah serangkaian acara yang kami ikuti.
Kamar yang cukup mewah di lantai dua itu seolah hanya menjadi persinggahan semata. Karena tak ada waktu untuk tidur di sana.
"Kira-kira hari terakhir besok acaranya apa ya?" tanyaku pada teman-teman.
"Semoga saja lebih menyenangkan," jawab Irma dan Putri kompak.
Kami bertiga hanya bisa merebahkan diri sementara di kasur. Dua hari sudah kami tidak bisa tidur.
***
Hari terakhir kami di Hotel Yasmine.
Kali ini kegiatan kami diawali dengan lari pagi mengelilingi hotel. Setelahnya baru makan pagi bersama.
Kembali kami semua dikumpulkan seperti biasa di ruang Aula. Pemandu acara memberikan arahan ke kami. Kali ini adalah sebuah tantangan.
Setiap dari kami diberi waktu 2 jam untuk bisa kembali membawa uang Rp 5.000,00. Dompet, atm, hp semua di sita. Hanya bermodal baju yang dikenakan saja, kami harus ke luar dari hotel untuk mendapatkan uang tersebut. Bagaimanapun caranya leader tidak peduli, asalkan itu halal dan tidak meminta-minta.
Aku berpikir sejenak, 'apa yang harus kulakukan? Aku aja tidak terlalu kenal daerah sini.'
Akhirnya kukumpulkan segenap keberanianku untuk menyambangi rumah penduduk. Aku berjalan sendiri tanpa memedulikan teman-temanku. Yang ada dalam pikiranku aku pasti bisa dapatkan uang itu.
Satu per satu rumah warga kuketuk menawarkan jasaku.
"Permisi Ibu, boleh saya bantu nyuci bajunya ya, Bu?" tanyaku menghampiri salah satu warga yang tengah memompa air di samping rumah.
"Maaf, Neng, nggak usah. Ibu teh udah biasa nyuci sendiri," jawab si Ibu yang memandangiku dengan raut wajah bingung.
Aku tak menyerah, kembali kumenghampiri warga di sekitar Hotel Yasmine tersebut. Terlihat ada bapak-bapak yang hendak mencuci mobilnya.
"Persimi, Pak, saya lagi butuh kerjaan. Boleh ya Pak saya bantu nyuci mobilnya?" aku mencoba menawarkan diri.
"Punten, Neng, emang bisa nyuci mobil? Jangan atuh, nggak usah ya," kembali penolakan menghampiriku.
Aku kembali berjalan menyusuri pemukiman. Mengetuk pintu ke pintu untuk menawarkan diri bekerja apa saja, menyapu, mengepel, cuci piring atau baju aku siap. Dibayar berapa pun aku terima, tapi lagi-lagi penolakan yang selalu kuterima.
Hingga akhirnya perjalananku sampai ke sebuah ruko-ruko. Aku kembali mengetuk pintu ke pintu menawarkan jasaku. Hanya demi uang Rp 5.000,00. Agar bisa kembali ke hotel.
Beberapa dari teman-teman kulihat ada yang menjadi kuli panggul, pedagang asongan, ada juga yang kerja di rumah makan.
Aku menyeka keringatku, dari tadi belum satu pun yang mau menerimaku. Sementara sudah ada 1 jam aku berjalan menyusuri.
Bogor yang biasanya hujan, hari ini cuacanya begitu panas. Membuat aku yang sedari tadi berjalan merasa kehausan. Tapi sepeserpun uang aku tak pegang. Kembali lagi aku hanya bisa menyeka keringatku.
Aku terus berjalan mencari peluang. Hingga akhirnya sebuah mobil bak terbuka berhenti di depanku. Mobil yang memuat barang elektronik itu akan dibersihkan. Barang-barangnya telah diturunkan. Aku menawarkan diri untuk membantu mengumpulkan potongan-potongan kardus yang tersisa dan menggulung tali pengikatnya.
Sungguh beruntung, pekerjaan yang cukup ringan tapi mau membayarku sebesar Rp 10.000,00. Senyumku mengembang, kutengok jam masih ada waktu yang tersisa.
Kembali lagi aku mencari kerja meski uang yang kudapat telah melebihi target. Bukankah melebihi itu lebih bagus?
Kali ini yang kunjungi adalah perkebunan. Benar saja, aku tak susah untuk mendapatkannya. Kutawarkan jasaku untuk membantu memilihkan bunga. Sang pemilik kebun membayarku Rp 5.000,00 dan pembeli juga memberiku Rp 6.000,00.
Waktu sudah hampir habis. Total uang yang kudapatkan melebihi target yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 21.000,00.
Banyak sekali pelajaran yang kudapat dari situ. Bahwa untuk sukses, kita harus memulainya dari bawah. Jangan pernah malu dengan apapun yang kita kerjakan, selama itu halal. Tidak ada rumus kesuksesan selain kerja keras dan pantang menyerah.
Tentang uang. Terkadang kita hanya mengukur dari nominalnya. Padahal mau seberapa pun besarnya uang tergantung kita yang memanagenya. Seperti uang Rp 21.000,00 yang kudapatkan bagiku sangat berharga.
TAMAT
MAURY, 1995
Angga Yudatama
Horror
Badai salju yang amat dahsyat memaksa seorang pria muda berjas hitam untuk menginap di sebuah hotel yang terletak di pinggiran kota. Tak memerlukan waktu yang lama, ia berhasil memesan sebuah kamar di lantai 13 dengan nomor “12”.
“Jarang-jarang ada hotel yang menggunakan angka 13” gumam pria itu seraya memasuki pintu lift.
Dengan santai, ia menekan tombol-tombol yang berderet di samping kanannya sesuai lantai kamar yang ia pesan tadi. Dengan sabar ia menanti pintu lift terbuka sambil menengok arloji di tangannya sesaat. Wajahnya berangsur gembira melihat di hadapannya pintu lift telah terbuka. Ia berjalan keluar dan menyelusuri lorong-lorong yang ada di lantai itu.
Matanya memperhatikan nomor-nomor kamar yang ia lewati. Nomor satu, dua, tiga, dan seterusnya. Ia terus berharap supaya segera menemukan nomor 12. Keberuntungan ada di pihaknya, ia berhasil menemukan apa yang ia cari tanpa menghabiskan banyak waktu.
Saat hendak membuka pintu, perhatiannya justru berpaling ke kamar sebelah, yaitu kamar nomor 13. Entah apa yang membuatnya tertarik, perlahan-lahan ia menuju kamar itu. “Ada yang aneh dengan kamar ini!” batinnya menduga. Ia mencoba mengintip melalui lubang kunci yang lumayan besar.
Matanya terbelalak ketika melihat sesosok perempuan berkulit pucat pasi tengah duduk termenung di kursi goyang. Lampu kamar itu berkedip-kedip diikuti goyangan kursi ytang semakin cepat. Tiba-tiba pria itu berteriak. “Siapa yang mematikan listriknya?!!”. Semuanya gelap gulita.
***
Listrik telah menyala...
Terdengar bunyi pintu diketuk seseorang. Pria muda tadi tergugah dari tidur malamnya. Ia tergopoh-gopoh setengah mengantuk membuka pintu. Perasaannya sangat kesal mendapati tak ada satu orang pun yang ada di depan pintu. Ia menoleh ke segala arah. Namun, ia sedikit terkejut melihat secarik kertas yang kusut dan sedikit robek. Ia mengambilnya dan memandangi benda itu dengan serius.
“Maury, 1995. Apa maksudnya?” tanyanya keheranan membaca tulisan bertinta merah seperti darah. Beberapa menit kemudian, senandung kecil terdengar. Suaranya sangat lirih sehingga samar-samar terdegar.
“Siapa yang bernyanyi tengah malam seperti ini?” Pandangannya kembali tertuju pada kamar nomor 13 tadi. Ia kembali menghampiri lalu mengetuk pintu sekuatnya. Namun aneh, tak ada sahutan dari dalam. Bahkan suasana semakin sepi dan mencekam.
Pria itu kehilangan kesabaran. Terpaksa ia mendobrak pintu kamar tersebut. Sayangnya, justru ia terpental setelah mendobrak benda itu. Ia merintih kesakitan, badannya serasa remuk selepas dibanting. Mendadak, bau-bauan aneh tercium di hidungnya. Kesadaran yang ia miliki mulai memudar karena kantuk. Ia berusaha mengenali bau itu.
“Tak salah lagi. Aroma ini….” Makinya seraya berjalan lunglai kembali ke kamar.
***
Suara teriakan memecah keheningan pagi hari. Pria muda itu spontan berlari keluar kamar dan menunju sumber suara. Ia ternganga melihat pintu kamar nomor 13 terbuka lebar. Perlahan ia menuju kamar itu. Kakinya terasa berat untuk digerakkan dan jantungnya mulai berdegup kencang. Antara berani dan takut ia ingin melihat apa yang ada di dalam.
Ia terkejut bukan main. Semua barang di kamar itu berantakan. Bahkan, kursi goyang yang ia lihat semalam kini terbelah menjadi beberapa bagian. Di salah satu potongan, terdapat tulisan dengan darah. Dilihat dari kondisinya, sepertinya baru saja ditulis.
“13 Februari 1995. Apa ini ada hubungannya dengan secarik kertas yang kutemukan kemarin?” herannya seraya mengingat kejadian semalam. Sekelebat bayangan hitam bergerak cepat ke sebuah ruangan di dalam kamar bernomor 13. “Siapa itu?!” teriaknya mengejar bayangan tadi yang masuk ke sebuah ruangan.
Ruangan itu sangat gelap. Samar-samar ia melihat sesosok gadis kecil sedang ketakutan di atas ranjang. Pria itu menelan ludah, ia memberanikan diri mendekati gadis itu seraya bertanya. “Sebenarnya apa yang terjadi?”.
Gadis mungil itu menatapnya dingin. Ia menunjuk ke bawah ranjang, sepertinya ada sesuatu. Pria itu merendahkan badannya. Ia menekuk lehernya dan matanya liar mencari apa yang ada di bawah ranjang tersebut.
Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat, gadis kecil yang ada di atas ranjang tadi kini berada di bawah tepat di depannya. “Ada hantu diatas!” beritahunya ketakutan. Keringat dingin menetes dari tubuh pria tadi. Perlahan demi perlahan ia menengok ke atas. Matanya terbelalak hebat.
Sesosok makhluk seperti serigala menyeringai di matanya. Kuku-kuku dan taringnya tajam. Disekujur tubuhnya menetes cairan hitam kental yang berbau sama dengan aroma yang ia hirup semalam.
Mahluk itu mengayunkan cakarnya dan mengenai tepat di salah satu lengan sang pria. Darah segar memuncrat seketika. Jeritan menggema ke segala penjuru. Pria itu mengerang luar biasa, ia berusaha keluar dari hotel itu.
Ia berlari keluar kamar itu. Ia terus berlari menuruni tangga tanpa memperdulikan lengannya yang hampir putus karena makhluk tadi. Di bawah, nampaknya seorang petugas hotel sudah menunggu kedatangannya. “Jelaskan semuanya kepadaku!” perintahnya kepada petugas hotel, nafasnya terengah-engah selepas berlari.
Petugas itu menoleh, “Menjelaskan tentang apa?
“Kau tahu kamar di lantai tiga belas yang bernomor tiga belas pula?” tanyanya menahan kesakitan.
“Oh, tentu. Kamar itu sangat fenomenal akhir-akhir ini!” jawab sang petugas singkat.
“Lihat luka di lenganku ini! Bekas cakaran, bukan? Sebenarnya siapa penghuni kamar itu? Kenapa bisa ada makhluk aneh di dalam sana?” tanya pemuda itu lagi setengah membentak.
Petugas itu bergeming sebentar, “Kalau tidak salah, nama orang itu adalah Maury. Ia beserta istri dan kedua putrinya menempati kamar itu semenjak tahun 1995. Seingatku tanggal 13 Februari 1995” ujar sang petugas, pria berjas itu teringat dengan potongan kayu yang ia temukan tadi.
“Maury? Kau jangan berbohong! Kamar itu tak dihuni seorang pria, melainkan wanita dan putrinya. Kini kamar itu berantakan dan...,” pemuda itu tak sanggup melanjutkan bicaranya. Mendadak matanya berkunang-kunang dan kepalanya merasa pusing.
Sang petugas tertawa kecil, “Wanita dan anak yang kau lihat tadi adalah keluarga Maury yang ia bantai sendiri. Bukan hanya itu, ia juga membantai orang-orang yang berada di hotel ini beserta para petugas”
“Lantas kau?”
“Dia membunuhku dengan menebaskan pedangnya tepat di leherku!”. Kepala petugas itupun menggelinding dan berhenti tepat di kaki pria itu.
TAMAT
“Jarang-jarang ada hotel yang menggunakan angka 13” gumam pria itu seraya memasuki pintu lift.
Dengan santai, ia menekan tombol-tombol yang berderet di samping kanannya sesuai lantai kamar yang ia pesan tadi. Dengan sabar ia menanti pintu lift terbuka sambil menengok arloji di tangannya sesaat. Wajahnya berangsur gembira melihat di hadapannya pintu lift telah terbuka. Ia berjalan keluar dan menyelusuri lorong-lorong yang ada di lantai itu.
Matanya memperhatikan nomor-nomor kamar yang ia lewati. Nomor satu, dua, tiga, dan seterusnya. Ia terus berharap supaya segera menemukan nomor 12. Keberuntungan ada di pihaknya, ia berhasil menemukan apa yang ia cari tanpa menghabiskan banyak waktu.
Saat hendak membuka pintu, perhatiannya justru berpaling ke kamar sebelah, yaitu kamar nomor 13. Entah apa yang membuatnya tertarik, perlahan-lahan ia menuju kamar itu. “Ada yang aneh dengan kamar ini!” batinnya menduga. Ia mencoba mengintip melalui lubang kunci yang lumayan besar.
Matanya terbelalak ketika melihat sesosok perempuan berkulit pucat pasi tengah duduk termenung di kursi goyang. Lampu kamar itu berkedip-kedip diikuti goyangan kursi ytang semakin cepat. Tiba-tiba pria itu berteriak. “Siapa yang mematikan listriknya?!!”. Semuanya gelap gulita.
***
Listrik telah menyala...
Terdengar bunyi pintu diketuk seseorang. Pria muda tadi tergugah dari tidur malamnya. Ia tergopoh-gopoh setengah mengantuk membuka pintu. Perasaannya sangat kesal mendapati tak ada satu orang pun yang ada di depan pintu. Ia menoleh ke segala arah. Namun, ia sedikit terkejut melihat secarik kertas yang kusut dan sedikit robek. Ia mengambilnya dan memandangi benda itu dengan serius.
“Maury, 1995. Apa maksudnya?” tanyanya keheranan membaca tulisan bertinta merah seperti darah. Beberapa menit kemudian, senandung kecil terdengar. Suaranya sangat lirih sehingga samar-samar terdegar.
“Siapa yang bernyanyi tengah malam seperti ini?” Pandangannya kembali tertuju pada kamar nomor 13 tadi. Ia kembali menghampiri lalu mengetuk pintu sekuatnya. Namun aneh, tak ada sahutan dari dalam. Bahkan suasana semakin sepi dan mencekam.
Pria itu kehilangan kesabaran. Terpaksa ia mendobrak pintu kamar tersebut. Sayangnya, justru ia terpental setelah mendobrak benda itu. Ia merintih kesakitan, badannya serasa remuk selepas dibanting. Mendadak, bau-bauan aneh tercium di hidungnya. Kesadaran yang ia miliki mulai memudar karena kantuk. Ia berusaha mengenali bau itu.
“Tak salah lagi. Aroma ini….” Makinya seraya berjalan lunglai kembali ke kamar.
***
Suara teriakan memecah keheningan pagi hari. Pria muda itu spontan berlari keluar kamar dan menunju sumber suara. Ia ternganga melihat pintu kamar nomor 13 terbuka lebar. Perlahan ia menuju kamar itu. Kakinya terasa berat untuk digerakkan dan jantungnya mulai berdegup kencang. Antara berani dan takut ia ingin melihat apa yang ada di dalam.
Ia terkejut bukan main. Semua barang di kamar itu berantakan. Bahkan, kursi goyang yang ia lihat semalam kini terbelah menjadi beberapa bagian. Di salah satu potongan, terdapat tulisan dengan darah. Dilihat dari kondisinya, sepertinya baru saja ditulis.
“13 Februari 1995. Apa ini ada hubungannya dengan secarik kertas yang kutemukan kemarin?” herannya seraya mengingat kejadian semalam. Sekelebat bayangan hitam bergerak cepat ke sebuah ruangan di dalam kamar bernomor 13. “Siapa itu?!” teriaknya mengejar bayangan tadi yang masuk ke sebuah ruangan.
Ruangan itu sangat gelap. Samar-samar ia melihat sesosok gadis kecil sedang ketakutan di atas ranjang. Pria itu menelan ludah, ia memberanikan diri mendekati gadis itu seraya bertanya. “Sebenarnya apa yang terjadi?”.
Gadis mungil itu menatapnya dingin. Ia menunjuk ke bawah ranjang, sepertinya ada sesuatu. Pria itu merendahkan badannya. Ia menekuk lehernya dan matanya liar mencari apa yang ada di bawah ranjang tersebut.
Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat, gadis kecil yang ada di atas ranjang tadi kini berada di bawah tepat di depannya. “Ada hantu diatas!” beritahunya ketakutan. Keringat dingin menetes dari tubuh pria tadi. Perlahan demi perlahan ia menengok ke atas. Matanya terbelalak hebat.
Sesosok makhluk seperti serigala menyeringai di matanya. Kuku-kuku dan taringnya tajam. Disekujur tubuhnya menetes cairan hitam kental yang berbau sama dengan aroma yang ia hirup semalam.
Mahluk itu mengayunkan cakarnya dan mengenai tepat di salah satu lengan sang pria. Darah segar memuncrat seketika. Jeritan menggema ke segala penjuru. Pria itu mengerang luar biasa, ia berusaha keluar dari hotel itu.
Ia berlari keluar kamar itu. Ia terus berlari menuruni tangga tanpa memperdulikan lengannya yang hampir putus karena makhluk tadi. Di bawah, nampaknya seorang petugas hotel sudah menunggu kedatangannya. “Jelaskan semuanya kepadaku!” perintahnya kepada petugas hotel, nafasnya terengah-engah selepas berlari.
Petugas itu menoleh, “Menjelaskan tentang apa?
“Kau tahu kamar di lantai tiga belas yang bernomor tiga belas pula?” tanyanya menahan kesakitan.
“Oh, tentu. Kamar itu sangat fenomenal akhir-akhir ini!” jawab sang petugas singkat.
“Lihat luka di lenganku ini! Bekas cakaran, bukan? Sebenarnya siapa penghuni kamar itu? Kenapa bisa ada makhluk aneh di dalam sana?” tanya pemuda itu lagi setengah membentak.
Petugas itu bergeming sebentar, “Kalau tidak salah, nama orang itu adalah Maury. Ia beserta istri dan kedua putrinya menempati kamar itu semenjak tahun 1995. Seingatku tanggal 13 Februari 1995” ujar sang petugas, pria berjas itu teringat dengan potongan kayu yang ia temukan tadi.
“Maury? Kau jangan berbohong! Kamar itu tak dihuni seorang pria, melainkan wanita dan putrinya. Kini kamar itu berantakan dan...,” pemuda itu tak sanggup melanjutkan bicaranya. Mendadak matanya berkunang-kunang dan kepalanya merasa pusing.
Sang petugas tertawa kecil, “Wanita dan anak yang kau lihat tadi adalah keluarga Maury yang ia bantai sendiri. Bukan hanya itu, ia juga membantai orang-orang yang berada di hotel ini beserta para petugas”
“Lantas kau?”
“Dia membunuhku dengan menebaskan pedangnya tepat di leherku!”. Kepala petugas itupun menggelinding dan berhenti tepat di kaki pria itu.
TAMAT
ATAS NAMA CINTA
Rihan Al Azuhra
Thriller
Sungguh betapa mengenaskannya ia dibunuh dan betapa teganya yang membunuh itu meninggalkan tubuh Andini terpotong dalam beberapa bagian lalu dimasukannya ke dalam koper berwarna merah jambu. Satu yang sampai sekarang masih tidak kumengerti, kenapa kedua mata Andini hilang? Ini ada apa? Bahkan pihak kepolisian pun sampai sekarang masih berusaha untuk mengungkapnya dan mencari tahu siapa pelaku atas semua ini. Dari dugaan sementara bahwa pelaku memiliki kelainan jiwa.
“Maaf Pak, kami menemukan ini.”
Salah seorang dari polisi itu menghampiriku yang tengah terdiam di sudut ruangan kepolisian, masih menunggu informasi yang utuh tentang kasus kematian kekasihku itu. Ia menyerahkan sebuah kertas.
“Betapa besar aku mencintaimu. Mataku selalu tidak pernah berpaling dari lekatnya elokmu. Maaf, aku melakukan ini karena aku tidak ingin kau dimiliki pria lain. Sebagai kenangan izinkan kusimpan kedua mata elokmu, Andini.”
Bedebah! Pria mana pula yang berani melakukan hal seburuk ini? Dua hari lagi pesta pernikahan aku dan Andini akan digelar, tapi kenapa semua jadi seperti ini? Ah, pusing kepalaku memikirkan semua ini, air mata pun telah kering rasanya.
“Kami tetap berusaha untuk terus menggali kasus ini, Pak,” tukas polisi itu kemudian berlalu.
***
“Baru pulang, Fin?” sapa John—kakakku, saat mengetahui kepulanganku dengan tatapan yang masih terpaku pada koran yang sedang dibacanya.
“Iya,” jawabku singkat seraya menghempaskan badan ke sofa untuk melepas penat yang sejak tadi merasuk dalam diri.
“Bagaimana kasusnya?” ucapnya kembali.
“Entahlah, sampai sekarang pun polisi belum berhasil mengungkapnya,”
“Itu salah satu kekuatan cinta, hingga sang pelaku pandai menutup jejak. Jika cinta terlalu lama terpendam iya seperti itu jadinya.”
John lalu melangkah pergi dan meninggalkanku sendiri. Aneh, selalu itu saja yang dia ucapkan. Apa tidak ada kata-kata lain? Aku tahu orang yang membunuh itu pasti mempunyai rasa terpendam pada Andini lalu cemburu padaku apalagi ketika undangan pernikahan telah disebarkan. Tapi, apa dia tidak bisa memberi saran lain pada adiknya yang sekarang tengah dirundung kepiluan ini?
Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang bertengkar dengan pacarnya. Akhir-akhir ini memang dia agak sensitif sekali. Aku mulai beranjak ke dalam kamar tapi telingaku menangkap suara tangis yang samar dan itu terdengar dari dalam kamar kakakku. Berkali-kali tertangkap kata Andini yang diucap berulang kali. Seketika kubuka pintu kamarnya dan menemukan dia tengah berdiri di kusen jendela dengan menggenggam sebuah toples kecil ditangannya.
Aku heran dengan apa yang tengah kulihat, “Apa yang sedang kau lakukan?” ucapku seraya menghampirinya. Sepertinya ia ingin melakukan bunuh diri. Bagaimana tidak, dia berdiri di jendela yang tingginya tujuh lantai ini, “Cepat turun dari situ!”
“Untuk apa kau kemari?” jawabnya sinis.
“Sejak tadi aku mendengar kau menyebut nama Andini. Sebenarnya ada apa ini?!”
Mataku tertarik akan toples kaca yang berada dalam genggamannya, sepasang bola kecil dengan darah kering di sekitarnya. Iris mata berwarna coklat terang itu! Aku tahu itu milik Andini.
“Kau?” tanyaku serak.
“Kau terlambat mengungkap kasus semudah ini, Fin. Aku sengaja memancingmu malam ini, agar kau bisa dengan mudah mengetahuinya,” ucapnya dengan riang.
Sungguh kepalaku terasa berputar. Sejak kapan semua ini terjadi? Apa yang dia lakukan dibelakangku? Benar-benar diluar dugaan.
“Wanita itu tidak pernah baik untukmu. Buktinya dia rela menjalin hubungan tersembunyi denganku hanya karena uangku yang lebih banyak dari pada kau. Aku terpaksa membunuhnya karena dia tega mencampakanku lalu menerima lamaranmu!”
“Tapi bukan begini caranya! Kau keterlaluan!”
Tawanya mulai menggema, serasa bahagia sekali dia melakukan hal itu. Betapa pandainya dia menyamarkan ekspresi berduka saat pertama kali mendengar kabar kematian Andini.
“Kau harusnya berterimakasih padaku. Karena wanita hina itu mati dan tidak jadi istrimu. Dan sekarang aku dan Andini akan menjadi pasangan bahagia di surga.”
Senyumnya kembali mengembang, mulai didekap erat toples itu dan menghempaskan tubuhnya keluar jendela. Secepat mungkin aku berusaha meraihnya namun nihil, hanya dapat kumenatap pada aspal di bawah sana yang kini telah memerah.
TAMAT
“Maaf Pak, kami menemukan ini.”
Salah seorang dari polisi itu menghampiriku yang tengah terdiam di sudut ruangan kepolisian, masih menunggu informasi yang utuh tentang kasus kematian kekasihku itu. Ia menyerahkan sebuah kertas.
“Betapa besar aku mencintaimu. Mataku selalu tidak pernah berpaling dari lekatnya elokmu. Maaf, aku melakukan ini karena aku tidak ingin kau dimiliki pria lain. Sebagai kenangan izinkan kusimpan kedua mata elokmu, Andini.”
Bedebah! Pria mana pula yang berani melakukan hal seburuk ini? Dua hari lagi pesta pernikahan aku dan Andini akan digelar, tapi kenapa semua jadi seperti ini? Ah, pusing kepalaku memikirkan semua ini, air mata pun telah kering rasanya.
“Kami tetap berusaha untuk terus menggali kasus ini, Pak,” tukas polisi itu kemudian berlalu.
***
“Baru pulang, Fin?” sapa John—kakakku, saat mengetahui kepulanganku dengan tatapan yang masih terpaku pada koran yang sedang dibacanya.
“Iya,” jawabku singkat seraya menghempaskan badan ke sofa untuk melepas penat yang sejak tadi merasuk dalam diri.
“Bagaimana kasusnya?” ucapnya kembali.
“Entahlah, sampai sekarang pun polisi belum berhasil mengungkapnya,”
“Itu salah satu kekuatan cinta, hingga sang pelaku pandai menutup jejak. Jika cinta terlalu lama terpendam iya seperti itu jadinya.”
John lalu melangkah pergi dan meninggalkanku sendiri. Aneh, selalu itu saja yang dia ucapkan. Apa tidak ada kata-kata lain? Aku tahu orang yang membunuh itu pasti mempunyai rasa terpendam pada Andini lalu cemburu padaku apalagi ketika undangan pernikahan telah disebarkan. Tapi, apa dia tidak bisa memberi saran lain pada adiknya yang sekarang tengah dirundung kepiluan ini?
Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang bertengkar dengan pacarnya. Akhir-akhir ini memang dia agak sensitif sekali. Aku mulai beranjak ke dalam kamar tapi telingaku menangkap suara tangis yang samar dan itu terdengar dari dalam kamar kakakku. Berkali-kali tertangkap kata Andini yang diucap berulang kali. Seketika kubuka pintu kamarnya dan menemukan dia tengah berdiri di kusen jendela dengan menggenggam sebuah toples kecil ditangannya.
Aku heran dengan apa yang tengah kulihat, “Apa yang sedang kau lakukan?” ucapku seraya menghampirinya. Sepertinya ia ingin melakukan bunuh diri. Bagaimana tidak, dia berdiri di jendela yang tingginya tujuh lantai ini, “Cepat turun dari situ!”
“Untuk apa kau kemari?” jawabnya sinis.
“Sejak tadi aku mendengar kau menyebut nama Andini. Sebenarnya ada apa ini?!”
Mataku tertarik akan toples kaca yang berada dalam genggamannya, sepasang bola kecil dengan darah kering di sekitarnya. Iris mata berwarna coklat terang itu! Aku tahu itu milik Andini.
“Kau?” tanyaku serak.
“Kau terlambat mengungkap kasus semudah ini, Fin. Aku sengaja memancingmu malam ini, agar kau bisa dengan mudah mengetahuinya,” ucapnya dengan riang.
Sungguh kepalaku terasa berputar. Sejak kapan semua ini terjadi? Apa yang dia lakukan dibelakangku? Benar-benar diluar dugaan.
“Wanita itu tidak pernah baik untukmu. Buktinya dia rela menjalin hubungan tersembunyi denganku hanya karena uangku yang lebih banyak dari pada kau. Aku terpaksa membunuhnya karena dia tega mencampakanku lalu menerima lamaranmu!”
“Tapi bukan begini caranya! Kau keterlaluan!”
Tawanya mulai menggema, serasa bahagia sekali dia melakukan hal itu. Betapa pandainya dia menyamarkan ekspresi berduka saat pertama kali mendengar kabar kematian Andini.
“Kau harusnya berterimakasih padaku. Karena wanita hina itu mati dan tidak jadi istrimu. Dan sekarang aku dan Andini akan menjadi pasangan bahagia di surga.”
Senyumnya kembali mengembang, mulai didekap erat toples itu dan menghempaskan tubuhnya keluar jendela. Secepat mungkin aku berusaha meraihnya namun nihil, hanya dapat kumenatap pada aspal di bawah sana yang kini telah memerah.
TAMAT
DEMI SUAMIKU, AKU RELA
Rismawati Irliani
Drama
PRANG! Gelas yang sedang dipegang oleh suamimu terjatuh dengan sangat ringan ke lantai. Makanan yang tadi hendak kamu telan akhirnya tertunda sesaat. Matamu menatapnya cemas. Sedang suamimu masih bingung dengan dirinya sendiri, menatap tangannya penuh tanya. Mengapa?
Lekas kau menelan makanan yang tadi tak jadi kau telan, "Ayah gak apa-apa? Ayah sakit?" tanyamu padanya yang masih duduk diam di meja makan.
"Tak apa, Bun. Gak tau juga nih, tangan Ayah mati rasa tiba-tiba. Sepertinya kecapean," duganya sambil membolak-balikkan telapak tanyannya.
Kau menarik napas sesaat, "besok Ayah ga usah kerja dulu ya! Biar Bunda kirim pesan sama bos." Lalu kau berdiri mengambilkan gelas baru di dapur. Sementara pecahan itu tetap kau biarkan dahulu.
"Ayah harus bekerja, Ayah tak ingin di PHK Bun. Teman Ayah sudah banyak yang di rumahkan sama perusahaan," jelasnya sambil menikmati kembali masakanmu.
Kau hanya bisa mengiyakan sekarang. Suamimu tipikal orang keras kepala. Bagaimanapun alasanmu untuk melarangnya, kau tahu itu tak akan membuahkan hasil. Jadi, kau memilih diam walaupun sekarang hatimu berisik mengkhawatirkannya.
"Ayah gapapa Bunda, tenanglah!" sahutnya seakan ia tahu isi kepalamu saat itu, lalu mengedipkan matanya ke arahmu.
Makan malam itu tampak sangat tak nyaman buatmu. Rasanya terlalu sulit untuk menelan makanan dalam keadaan cemas. Apalagi yang kau cemaskan adalah suamimu sendiri; kesehatannya. Alih-alih tak mau membuatnya kecewa kau terus menjejal lauk pauk itu ke dalam mulutmu, menelannya dengan air putih yang banyak.
***
Pagi yang cerah namun hati gundah itu seperti lagu rock yang diputar saat sedih. Tak enak di dengar, tak enak dirasa. Seperti hatimu saat melambaikan tangan ke arah suamimu yang mulai memacu sepeda motor yang lumayan bututnya.
Senyuman dan kecupan di keningmu tadi tak mampu mengurangi rasa cemas itu. Di rumah kau serba salah. Duduk salah, memasak salah, menonton TV pun serba salah. Sofa terasa kaku untuk diduduki, masakanmu asin, dan semua program acara di TV membosankan bagimu. Di kepalamu cuma ada satu, suamimu cepat pulang.
Terik matahari siang itu tak mampu mengeringkan cucianmu. Benar saja, karena rasa cemas itu kau hampir lupa untuk mencuci pakaian. Tetesan air yang merembes dari pori-pori kain masih jatuh besar-besar sebab kau baru saja selesai mencucinya.
"Baru nyuci Bu Kely?" tetanggamu yang selalu berkomentar itu menegurmu. "Ngapain aja Bu dari tadi?"
"Hampir lupa mencuci Bu Ren," sahutmu nyaring.
"Oh, ini punya saya sudah kering loh!" pamernya padamu dengan mengangkat cuciannya tinggi-tinggi.
Malas kau meladeni tetanggamu itu, bisa semakin panjang urusan bila meneruskan bicara. Kau hanya tersenyum semanis mungkin lalu masuk ke dalam rumah. Tetanggamu itu masih berkoar-koar di luar. Entah, kau tak peduli lagi.
Matamu menangkap panci dan masakanmu yang asin tadi, sesal menghampiri dadamu, "kenapa kutambahi garam ya?" Aduh Kely, itu sayur terakhir di kulkas," marahmu pada diri sendiri.
Ingin tak makan, perutmu lapar. Ketika kau makan, tenggorokanmu susah utuk menelannya. Alhasil, hanya setengah piring nasi itu dilahapmu. Itupun dengan bantuan air untuk mendorongnya masuk ke lambung.
Duduk di teras membujurkan kaki. Menatap jalanan penuh tanya, kapan ia pulang; suamimu. Biasanya jam 5 sore ia sudah pulang, melempar senyum padamu di balik wajahnya yang kelelahan. Tapi, detik saat jingga mulai memudar digantikan gelap, ia belum pulang. Mau menelponnya, ponselnya tertinggal. Cemasmu semakin menjadi, merusak suasana hatimu yang tadi senang karena sore sudah datang.
Hari kian gelap, jalanan yang sedari tadi kau tatap sudah mengabur dipandangi. Pelan-pelan air matamu menetes, kau menangis tanpa tahu berbuat apa. Namun tiba-tiba senyummu merekah indah, kau hapus air matamu.
"Ayah, ya Tuhan akhirnya Ayah pulang juga," kau berlari ke arahnya seperti seorang anak yang menyongsong Ayahnya pulang bekerja.
"Hahaha, sudah Ayah duga Bunda khawatirin Ayah. Jangan berpikiran negatif Bunda sayang," ujarnya sembari mengacak rambutmu.
"Bunda kan sayang Ayah," kau mencoba merayunya.
Ia hanya terkekeh melihatmu yang kekanakan itu. Ya, memang kau terlalu muda saat menikah dengannya dahulu. Beda usiamu terpaut sangat jauh. Usianya waktu itu 35 tahun, sedangkan dirimu masih 19 tahun. Tapi wajahnya tak tampak bahwa ia sudah berumur saat itu.
Cintamu terus bersemi tanpa mempermasalahkan bedanya usia. Tak peduli dengan orang tuamu yang menentangnya, kau nekat menikah dengan lelaki yang sekarang di depanmu.
"Ayah, maaf loh Bunda masak asin hari ini," dengan takut kau membuka suara saat ia menaruh sepeda motor.
"Asin? Kok bisa?" tanyanya kaget menatapmu.
"Kan mikirin Ayah terus," alasanmu supaya ia tak memarahimu.
Bukan marah, ia malah tertawa terbahak di depanmu. Lalu menggendongmu masuk ke dalam rumah. Kau pun ikut tertawa dengan lega.
Makan malam kembali tak berwarna. Kau melihat ia seperti enggan menelan masakanmu.
"Maaf," katamu.
"Gak apa sayang, kebetulan Ayah tidak nafsu makan nih," jelasnya saat meletakkan sendok itu terbalik. Ia telah mengakhiri makannya dengan menyisakan nasi yang masih banyak.
Kau menelan ludah dengan berat. Mengutuk dirimu sendiri tanpa menyalahkannya. Makan malam pun berakhir saat itu juga dengan keadaan piring yang sama isinya. Kau tak mau melanjutkan makan.
***
"Ayah?" kau berteriak saat melihatnya jatuh terjerembab di lantai kamar.
Ia tak dapat bangun, pun ia tak bisa bicara. Lidahnya kelu, hanya matanya yang penuh isyarat.
Dengan pertolongan tetanggamu yang berisik itu kau membawanya ke rumah sakit. Sedikit sesalmu menuding tetanggamu buruk. Ia sangat baik rupanya.
"ALS Dok?" pekikmu sedikit bingung. Itu singkatan asing yang pernah kau dengar. Biasanya kau hanya tahu Diabetes, DBD, Kolesterol. Jangan-jangan penyakit berbahaya, pikirmu.
"Suami Ibu mengindap penyakit langka. ALS singkatan dari Amyotrophic lateral scerosis. Penyakit neurologi serius yang menyebabkan kelemahan otot, bahkan kematian. Ini jarang terjadi, dari 100.000 populasi di dunia, yang menderita hanya sekitar 1-3 orang," jelas Dokter panjang lebar menangkap mimik wajahmu yang kebingungan.
Mendengar kata 'kematian' tubuhmu bergetar. Apa yang kau khawatirkan kini nyata. Suamimu mengindap penyakit langka dan mematikan.
"Apakah bisa disembuhkan Dok?" tanya penuh harap di sela isakan.
"Hemm, agak sulit," katanya.
"Penyakit ini harus therapi Bu," jawabmu sedikit berat.
"Therapy?" tanyamu balik.
"Therapy stemcell, namun biayanya lumayan," jelasnya lagi.
Kau membisu, pikiranmu kalut memikirkan di mana kau bisa dapat biaya untuk berobat suamimu. Uang bulanan pun sudah habis, suamimu belum digajih sebulan terakhir. Perusahaan tempat suamimu bekerja sedang dalam masalah.
Secepat kilat kau mengaduk isi tasmu, mencari ponsel. Kau menekan nomer telephone dengan lancar.
"Ma, ini Kely," suaramu parau.
"Ngapain nelpon Mama?" bentak suara di seberang sana.
"Wirga sakit, Ma. Sakit parah," kau terisak. Berharap Mamamu mau menolongmu. Namun gayung tak bersambut baik.
"Biar aja mati, toh dia tidak bisa memberiku keturunan," pekiknya dan kemudian sambungan terputus.
Kau terisak tanpa malu dengan tatapan orang-orang di ruangan itu. Lalu entah kenapa, tiba-tiba kau menyanggupi syarat pengobatan yang diberikan dokter. Menatap wajah suamimu yang lemah itu membuatmu mantap. Kelabilan masih menggrogoti pikiranmu, kau berniat akan menjual dirimu.
TAMAT
Lekas kau menelan makanan yang tadi tak jadi kau telan, "Ayah gak apa-apa? Ayah sakit?" tanyamu padanya yang masih duduk diam di meja makan.
"Tak apa, Bun. Gak tau juga nih, tangan Ayah mati rasa tiba-tiba. Sepertinya kecapean," duganya sambil membolak-balikkan telapak tanyannya.
Kau menarik napas sesaat, "besok Ayah ga usah kerja dulu ya! Biar Bunda kirim pesan sama bos." Lalu kau berdiri mengambilkan gelas baru di dapur. Sementara pecahan itu tetap kau biarkan dahulu.
"Ayah harus bekerja, Ayah tak ingin di PHK Bun. Teman Ayah sudah banyak yang di rumahkan sama perusahaan," jelasnya sambil menikmati kembali masakanmu.
Kau hanya bisa mengiyakan sekarang. Suamimu tipikal orang keras kepala. Bagaimanapun alasanmu untuk melarangnya, kau tahu itu tak akan membuahkan hasil. Jadi, kau memilih diam walaupun sekarang hatimu berisik mengkhawatirkannya.
"Ayah gapapa Bunda, tenanglah!" sahutnya seakan ia tahu isi kepalamu saat itu, lalu mengedipkan matanya ke arahmu.
Makan malam itu tampak sangat tak nyaman buatmu. Rasanya terlalu sulit untuk menelan makanan dalam keadaan cemas. Apalagi yang kau cemaskan adalah suamimu sendiri; kesehatannya. Alih-alih tak mau membuatnya kecewa kau terus menjejal lauk pauk itu ke dalam mulutmu, menelannya dengan air putih yang banyak.
***
Pagi yang cerah namun hati gundah itu seperti lagu rock yang diputar saat sedih. Tak enak di dengar, tak enak dirasa. Seperti hatimu saat melambaikan tangan ke arah suamimu yang mulai memacu sepeda motor yang lumayan bututnya.
Senyuman dan kecupan di keningmu tadi tak mampu mengurangi rasa cemas itu. Di rumah kau serba salah. Duduk salah, memasak salah, menonton TV pun serba salah. Sofa terasa kaku untuk diduduki, masakanmu asin, dan semua program acara di TV membosankan bagimu. Di kepalamu cuma ada satu, suamimu cepat pulang.
Terik matahari siang itu tak mampu mengeringkan cucianmu. Benar saja, karena rasa cemas itu kau hampir lupa untuk mencuci pakaian. Tetesan air yang merembes dari pori-pori kain masih jatuh besar-besar sebab kau baru saja selesai mencucinya.
"Baru nyuci Bu Kely?" tetanggamu yang selalu berkomentar itu menegurmu. "Ngapain aja Bu dari tadi?"
"Hampir lupa mencuci Bu Ren," sahutmu nyaring.
"Oh, ini punya saya sudah kering loh!" pamernya padamu dengan mengangkat cuciannya tinggi-tinggi.
Malas kau meladeni tetanggamu itu, bisa semakin panjang urusan bila meneruskan bicara. Kau hanya tersenyum semanis mungkin lalu masuk ke dalam rumah. Tetanggamu itu masih berkoar-koar di luar. Entah, kau tak peduli lagi.
Matamu menangkap panci dan masakanmu yang asin tadi, sesal menghampiri dadamu, "kenapa kutambahi garam ya?" Aduh Kely, itu sayur terakhir di kulkas," marahmu pada diri sendiri.
Ingin tak makan, perutmu lapar. Ketika kau makan, tenggorokanmu susah utuk menelannya. Alhasil, hanya setengah piring nasi itu dilahapmu. Itupun dengan bantuan air untuk mendorongnya masuk ke lambung.
Duduk di teras membujurkan kaki. Menatap jalanan penuh tanya, kapan ia pulang; suamimu. Biasanya jam 5 sore ia sudah pulang, melempar senyum padamu di balik wajahnya yang kelelahan. Tapi, detik saat jingga mulai memudar digantikan gelap, ia belum pulang. Mau menelponnya, ponselnya tertinggal. Cemasmu semakin menjadi, merusak suasana hatimu yang tadi senang karena sore sudah datang.
Hari kian gelap, jalanan yang sedari tadi kau tatap sudah mengabur dipandangi. Pelan-pelan air matamu menetes, kau menangis tanpa tahu berbuat apa. Namun tiba-tiba senyummu merekah indah, kau hapus air matamu.
"Ayah, ya Tuhan akhirnya Ayah pulang juga," kau berlari ke arahnya seperti seorang anak yang menyongsong Ayahnya pulang bekerja.
"Hahaha, sudah Ayah duga Bunda khawatirin Ayah. Jangan berpikiran negatif Bunda sayang," ujarnya sembari mengacak rambutmu.
"Bunda kan sayang Ayah," kau mencoba merayunya.
Ia hanya terkekeh melihatmu yang kekanakan itu. Ya, memang kau terlalu muda saat menikah dengannya dahulu. Beda usiamu terpaut sangat jauh. Usianya waktu itu 35 tahun, sedangkan dirimu masih 19 tahun. Tapi wajahnya tak tampak bahwa ia sudah berumur saat itu.
Cintamu terus bersemi tanpa mempermasalahkan bedanya usia. Tak peduli dengan orang tuamu yang menentangnya, kau nekat menikah dengan lelaki yang sekarang di depanmu.
"Ayah, maaf loh Bunda masak asin hari ini," dengan takut kau membuka suara saat ia menaruh sepeda motor.
"Asin? Kok bisa?" tanyanya kaget menatapmu.
"Kan mikirin Ayah terus," alasanmu supaya ia tak memarahimu.
Bukan marah, ia malah tertawa terbahak di depanmu. Lalu menggendongmu masuk ke dalam rumah. Kau pun ikut tertawa dengan lega.
Makan malam kembali tak berwarna. Kau melihat ia seperti enggan menelan masakanmu.
"Maaf," katamu.
"Gak apa sayang, kebetulan Ayah tidak nafsu makan nih," jelasnya saat meletakkan sendok itu terbalik. Ia telah mengakhiri makannya dengan menyisakan nasi yang masih banyak.
Kau menelan ludah dengan berat. Mengutuk dirimu sendiri tanpa menyalahkannya. Makan malam pun berakhir saat itu juga dengan keadaan piring yang sama isinya. Kau tak mau melanjutkan makan.
***
"Ayah?" kau berteriak saat melihatnya jatuh terjerembab di lantai kamar.
Ia tak dapat bangun, pun ia tak bisa bicara. Lidahnya kelu, hanya matanya yang penuh isyarat.
Dengan pertolongan tetanggamu yang berisik itu kau membawanya ke rumah sakit. Sedikit sesalmu menuding tetanggamu buruk. Ia sangat baik rupanya.
"ALS Dok?" pekikmu sedikit bingung. Itu singkatan asing yang pernah kau dengar. Biasanya kau hanya tahu Diabetes, DBD, Kolesterol. Jangan-jangan penyakit berbahaya, pikirmu.
"Suami Ibu mengindap penyakit langka. ALS singkatan dari Amyotrophic lateral scerosis. Penyakit neurologi serius yang menyebabkan kelemahan otot, bahkan kematian. Ini jarang terjadi, dari 100.000 populasi di dunia, yang menderita hanya sekitar 1-3 orang," jelas Dokter panjang lebar menangkap mimik wajahmu yang kebingungan.
Mendengar kata 'kematian' tubuhmu bergetar. Apa yang kau khawatirkan kini nyata. Suamimu mengindap penyakit langka dan mematikan.
"Apakah bisa disembuhkan Dok?" tanya penuh harap di sela isakan.
"Hemm, agak sulit," katanya.
"Penyakit ini harus therapi Bu," jawabmu sedikit berat.
"Therapy?" tanyamu balik.
"Therapy stemcell, namun biayanya lumayan," jelasnya lagi.
Kau membisu, pikiranmu kalut memikirkan di mana kau bisa dapat biaya untuk berobat suamimu. Uang bulanan pun sudah habis, suamimu belum digajih sebulan terakhir. Perusahaan tempat suamimu bekerja sedang dalam masalah.
Secepat kilat kau mengaduk isi tasmu, mencari ponsel. Kau menekan nomer telephone dengan lancar.
"Ma, ini Kely," suaramu parau.
"Ngapain nelpon Mama?" bentak suara di seberang sana.
"Wirga sakit, Ma. Sakit parah," kau terisak. Berharap Mamamu mau menolongmu. Namun gayung tak bersambut baik.
"Biar aja mati, toh dia tidak bisa memberiku keturunan," pekiknya dan kemudian sambungan terputus.
Kau terisak tanpa malu dengan tatapan orang-orang di ruangan itu. Lalu entah kenapa, tiba-tiba kau menyanggupi syarat pengobatan yang diberikan dokter. Menatap wajah suamimu yang lemah itu membuatmu mantap. Kelabilan masih menggrogoti pikiranmu, kau berniat akan menjual dirimu.
TAMAT
Nah, Guys, selamat membaca karya-karya di atas dan jangan lupa untuk selalu meninggalkan apresiasi berupa saran dan kritik yang membangun. See ya all on the next Parade!